Imam Syafi'i dilahirkan di kota Ghuzzah atau Gaza, wilayah Palestina pada hari Jum'at akhir bulan Rajab tahun 150 Hijriyah yang kebetulan bersamaan dengan tahun kelahiran Imam Ali ar Ridha, Imam kedelapan kaum syi'ah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi'i Al Hasyimi al Muthalibi. Beliau keturunan bani Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, kakek buyut Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wasallam.
Imam Syafi'i ,sumber : infithaar.wordpress.com |
Setelah ayahnya meninggal dunia di kota Gazza, ibunya membawa Imam Syafi'i ke Mekkah yang merupakan tanah tumpah darah leluhurnya pada usia dua tahun. Selama belajar di kota Mekkah, Imam Syafi'i mengalami kesulitan karena beliau anak yatim yang miskin. Namun beliau tetap tekun dalam belajar dan berusaha menghafalkan semua yang didapatnya. Karena tak sanggup membeli kertas dan tinta, semua pelajaran ditulis disobekan kertas dan tulang. Kekurangannya tidaklah membuat beliau surut dalam belajar. Dalam maqalahnya beliau tuliskan
"Tiada kebahagiaan dalam menuntut ilmu kecuali mereka yang ketika belajar dalam kondisi serba kekurangan"
Di kota Makkah, Imam Syafi'i berhasil menghafal seluruh isi al Qur'an pada usia tujuh tahun. Al Muzani meriwayatkan bahwa Imam Syafi'i pernah berkata, "Aku telah hafal seluruh al Qur'an saat usia tujuh tahun, dan aku telah hafal al Muwaththa' karya Imam Malik saat usiaku sepuluh tahun." Konon Imam Syafi'i berhasil menghafal al Muwaththa selama sembilan malam. Perlu diketahui bahwa al Muwaththa adalah kitab yang berisi kumpulan hadits dan atsar karya Imam Malik yang berjumlah 1720 Hadits. Kemudian Imam Syafi'i belajar bahasa Arab kepada Suku Hudzail di pedalaman. Suku ini terkenal kefasihan bahasanya. Beliau belajar selama sepuluh tahun.
Imam Syafi'i pernah menyatakan tentang alasan tinggal di pedalaman, "ada dua tujuanku melakukan itu, pertama untuk belajar memanah dan kedua untuk menuntut ilmu." Imam Syafi'i mendapat gelar "FARIS AL HALBATAIN" yang artinya Pendekar dalam dua bidang, yaitu ahli dalam bidang memanah dan menunggan kuda, sekaligus memiliki ilmu pengetahuan yang luas.
Sekembalinya dari pedalaman, Imam Syafi'i berhasil memetik kefasihan dan ketinggian gaya bahasa. Namun beliau tidak tertarik kepada syair. Dalam salah satu syairnya dikatakan
"Andaikata syi'ir itu tidak membuat ulama menjadi rendah, niscaya hari ini aku bisa lebih hebat daripada Labid (seorang penyair ulung saat itu)
Di Mekkah beliau berguru kepada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Al Zanji. Pada usia 15 tahun beliau telah mampu menguasai ilmu hadits, fiqih dan sastra. Bahkan sang imam telah memberikan izin untuk berfatwa. Muslim bin Khalid berkata,"Berfatwalah Abu Abdullah, karena demi Allah, sudah waktunya bagimu untuk berfatwa." Ketika Sufyan bin Uyainah ditanya tentang tafsir dan fatwa, dia menjawab,"Tanyalah kepada pamuda ini!" Kemudian Imam Syafi'i pun menjadi guru di Masjidil Haram.
Pada usia 16 tahun beliau pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Sebelum berangkat, beliau meminta surat pengantar dari wali Mekkah. konon setelah sampai ke kota Madinah, Imam Syafi'i menghadap wali Madinah dan menyerahkan surat dari Wali Makkah. Pada awalnya wali Madinah keberatan untuk mengantarkan Imam Syafi'i kepada Imam Malik, karena Imam Malik adalah seorang ulama besar yang berwibawa. Namun atas bujukan Imam Syafi'i akhirnya wali Madinah berkenan mengantarkan Imam Syafi'i ke kediaman Imam Malik. Paada saat itu yang menerimanya adalah pembantunya dikatakan kepada pembantunya. "Tolong sampaikan kepada beliau Wali Madinah mau menghadap." Setelah pesan disampaikan kepada Imam Malik beliau menjawab,"Katakan kepada Wali madinah apabila ada keperluan cukuplah menuliskannya ditulis pada kertas." Wali Madinah menimpali,"Tolong katakan kepada Imam Malik bahwa kami datang untuk menyampaikan surat penting dari Wali Makkah khusus untuk tuan Imam," Setelah Imam Malik membaca surat dari wali Makkah dan gurunya Muslim bin Khalid al Zanji tentang keinginan Imam Syafi'i yang berkaitan dengan ilmu agama bukan ilmu keduniawian seperti perkiraannya semula, maka keluarlah Imam Malik dan berkata dengan sinis dan kecewa
"Subhanallah, Apa jadinya kalau ilmu Rasulullah diambil melalui perantara segala," Imam Syafi'i meminta maaf lalu menyampaikan keinginannya untuk berguru kepada imam Malik.
Karena Imam Syafi'i telah hafal Al Muwattha, beliau sering menggantikan Imam Malik mengajar di Masjid Nabawi. Sehingga Imam Syafi'i menjadi terkenal di kalangan luas. Saat berusia 27 tahun, belau diangkat menjadi hakim di Najran atas bantuan Mush'ab bin Abdullah yang menjadi hakim di Yaman. Pada tahun 184 H, Imam Syafi'i di fitnah dianggap sebagai pemimpin gerakan Alawiyin di Yaman sehingga beliau dibawa ke Irak untuk menerima hukuman mati. Namun karena hujjah beliau dan atas kesaksian Muhammad bin Hasan serta al Fadhal bin rabi beliau dibebaskan.
Kesempatan tinggal di Irak tidak disiasiakan oleh Imam Syafi'i, beliau mempelajari Fiqh Irak dan membaca kitab Induk bersama Muhammad bin Al Hasan yang merupakan murid dari Abu Hanifah. Muhammad bin Al Hasan sangat menghormati Imam Syafi'i. Bahkan dia lebih sering menghadiri majlis Imam Syafi'i dibanding majlis Sultan.
Setelah dari Irak, beliau kembali ke Makkah dan kembali mengajar di Masjidil Haram. Imam Syafi'i lalu melakukan ijtihad mutlak di Makkah. Periode di Makkah inilah beliau menetapkan kaidah-kaidah istinbath (pengambilan dalil) untuk membedakan antara fiqh ulama Hijaz dan fiqih ulama irak. Kala itu, halaqah Imam Syafi'i sangat terkenal karena didalamnya begitu banyak dinamika, adu argumentasi yang membahas berbagai masalah secara tuntas. Pada periode ini pula Imam Syafi'i menyusun Ar Risalah yang berisi ilmu Ushul Fiqh.
Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Irak dan menetap di Bagdad selama dua tahun untuk menyebarkan konsep baru dan berdiskusi dengan ulama irak. Halaqah beliau yang bertempat di Masjid Jami'al Gharbi sangat terkenal. Banyak ulama-ulama besar yang datang berguru padanya seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Bisyr al Marisy, Abdurrahman bin Mahdi, Abu Tsaur, dan Husain bin Ali Al Karbisi. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata,"Semua masalah kami tidak pernah terselesaikan oleh para pengikut Abu Hanifah, sampai akhirnya kami bertemu dengan Imam Syafi'i."
Setelah menetap dua tahun di Bagdad, Imam Syafi'i kembali ke Makkah untuk mengembangkan ilmu dan menyebarkan madzhabnya. pada tahun 198 H, Imam Syafi'i kembali lagi ke Baghdad namun tidak lama menetap karena Sultan Makmun pd waktu itu lebih condong kepada mu'tazillah. Dalam kunjungannya Imam Syafi'i mengijazahkan kitab-kitabnya kepada Husain Ali al Karbisi.
Pada tahun 199 H, beliau berangkat ke Mesir dan memperbaharui metode Ijtihad. Hal ini terjadi karena pengetahuannya terhdap beberapa hadits dan pendapat fiqh yang baru serta interaksinya dengan masyarakat Mesir yang sama sekali berbeda dengan daerah Hijaz dan Irak. Imam Syafi'i mulai menetapkan metodologi barunya yang berpusat di Masjid Amr Bin Ash. Pada saat itulah Imam Syafi'i mendiktekan Al Umm kepada murid-muridnya yang kemudian dinukil oleh ar Rabi bin Sulaiman al Muradi sehingga menjadi sebuah kumpulan beberapa artikel fiqh baru yang dikenal dengan sebutan Qaul Jadid. Majlis Imam Syafi'i semakin semarak penuh dengan adu argumentasi dan tukar pendapat. Imam Syafi'i sering mengutarakan argumentasi yang kuat tanpa harus menyinggung pendapat pihak lain.
Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at di penghujung bulan Rajab pada tahun 204 H pada usia 54 tahun. Jenazahnya dimakamkan di dusun al Qarafah yang terletak di sebelah tenggara Kairo. Di atas pusaranya tertulis pernyataan "Seorang alim dari suku Quraisy yang telah memenuhi penjuru bumi dengan ilmu." Semoga Allah swt mengharumkan maqamnya dan meridhai beliau selamanya. amin
Pendapat para ulama tentang Imam Syafi'i
Kesempatan tinggal di Irak tidak disiasiakan oleh Imam Syafi'i, beliau mempelajari Fiqh Irak dan membaca kitab Induk bersama Muhammad bin Al Hasan yang merupakan murid dari Abu Hanifah. Muhammad bin Al Hasan sangat menghormati Imam Syafi'i. Bahkan dia lebih sering menghadiri majlis Imam Syafi'i dibanding majlis Sultan.
Setelah dari Irak, beliau kembali ke Makkah dan kembali mengajar di Masjidil Haram. Imam Syafi'i lalu melakukan ijtihad mutlak di Makkah. Periode di Makkah inilah beliau menetapkan kaidah-kaidah istinbath (pengambilan dalil) untuk membedakan antara fiqh ulama Hijaz dan fiqih ulama irak. Kala itu, halaqah Imam Syafi'i sangat terkenal karena didalamnya begitu banyak dinamika, adu argumentasi yang membahas berbagai masalah secara tuntas. Pada periode ini pula Imam Syafi'i menyusun Ar Risalah yang berisi ilmu Ushul Fiqh.
Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Irak dan menetap di Bagdad selama dua tahun untuk menyebarkan konsep baru dan berdiskusi dengan ulama irak. Halaqah beliau yang bertempat di Masjid Jami'al Gharbi sangat terkenal. Banyak ulama-ulama besar yang datang berguru padanya seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Bisyr al Marisy, Abdurrahman bin Mahdi, Abu Tsaur, dan Husain bin Ali Al Karbisi. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata,"Semua masalah kami tidak pernah terselesaikan oleh para pengikut Abu Hanifah, sampai akhirnya kami bertemu dengan Imam Syafi'i."
Setelah menetap dua tahun di Bagdad, Imam Syafi'i kembali ke Makkah untuk mengembangkan ilmu dan menyebarkan madzhabnya. pada tahun 198 H, Imam Syafi'i kembali lagi ke Baghdad namun tidak lama menetap karena Sultan Makmun pd waktu itu lebih condong kepada mu'tazillah. Dalam kunjungannya Imam Syafi'i mengijazahkan kitab-kitabnya kepada Husain Ali al Karbisi.
Pada tahun 199 H, beliau berangkat ke Mesir dan memperbaharui metode Ijtihad. Hal ini terjadi karena pengetahuannya terhdap beberapa hadits dan pendapat fiqh yang baru serta interaksinya dengan masyarakat Mesir yang sama sekali berbeda dengan daerah Hijaz dan Irak. Imam Syafi'i mulai menetapkan metodologi barunya yang berpusat di Masjid Amr Bin Ash. Pada saat itulah Imam Syafi'i mendiktekan Al Umm kepada murid-muridnya yang kemudian dinukil oleh ar Rabi bin Sulaiman al Muradi sehingga menjadi sebuah kumpulan beberapa artikel fiqh baru yang dikenal dengan sebutan Qaul Jadid. Majlis Imam Syafi'i semakin semarak penuh dengan adu argumentasi dan tukar pendapat. Imam Syafi'i sering mengutarakan argumentasi yang kuat tanpa harus menyinggung pendapat pihak lain.
Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at di penghujung bulan Rajab pada tahun 204 H pada usia 54 tahun. Jenazahnya dimakamkan di dusun al Qarafah yang terletak di sebelah tenggara Kairo. Di atas pusaranya tertulis pernyataan "Seorang alim dari suku Quraisy yang telah memenuhi penjuru bumi dengan ilmu." Semoga Allah swt mengharumkan maqamnya dan meridhai beliau selamanya. amin
Pendapat para ulama tentang Imam Syafi'i
- Yahya bin Aktsam, seorang hakim di Bashrah, "Saya sering mengikuti diskusi dalam majlis Muhammad bin al Hasan, ternyata Imam Syafi'i seorang Quraisy yang cerdas, jernih pemahaman, dan cepat menangkap masalah. Seandainya dia bersungguh sungguh menggali jumlah hadits, maka umat Muhammad dapat merasa cukup dengan Imam Syafi'i dari ulama lainnya."
- Imam Ahmad bin Hanbal,"Imam Syafi'i bagai mentari bagi dunia, dan kekuatan bagi manusia. Lihatlah, apakah ada seseorang yang mampu menggantikan posisinya?"
- Para ahli hadits Irak,"Imam Syafi'i lebih ahli fiqh dibandingkan Ibrahim an Nakha'i, Syaikh Hammad dan Syaikh Abu Hanifah"
- Abu Tsaur,"Kami menyatakan bahwa Imam Syafi'i lebih ahli dalam fiqih dibandingkan Ibrahim an Nakha'i dan Dzuwaih."
- Ar Rabi bin Sulaiman,"Jika kalian melihat Imam Syafi'i, tentu kalian akan berkata bahwa tidaklah ucapannya itu sebanding dengan apa yang ditulisnya. Karena demi Allah apa yang diucapkan Imam Syafi'i ternyata jauh lebih hebat dari apa yang ditulis di kitabnya. Sebab setiap ucapannya merupakan hujjah dari segi bahasa."
- Fakhruddin ar Razi,"Ketahuilah bahwa penisbahan Imam Syafi'i pada Ilmu Ushul Fiqh adalah sama tepatnya dengan penisbahan Aristoteles pada ilmu logika."
- Basyr al Murisi,"Dalam diri Imam Syafi'i terdapat setengah kecerdasan dari seluruh kecerdasan manusia yang ada di dunia."
- Yahya bin Aktsam,"Jika Akal Imam Syafi'i ditimbang dengan setengah akal manusia di bumi, maka akal Imam Syafi'i pasti akan lebih berat..."
- Abdullah Az Zubidi,"Aku tidak pernah mengetahui ada orang yang lebih pandai mengenai sejarah manusia dibanding Imam Syafi'i."
- Al Muzani,"Imam Syafi'i adalah hujjah bagi kami dalam ilmu nahwu."
- Ibnu Hisyam (ahli nahwu),"Setelah sekian lama aku bergaul dengan Imam Syafi'i aku tidak pernah mendengar sebuah kekeliruan ungkapan darinya. Setiap kalimat yang diucapkannya, pastilah merupakan kalimat yang terbaik."
- Al Mubarrad,"Semoga Allah selalu merahmati Imam Syafi'i, karena sesungguhnya dia adalah orang yang paling pandai menggubah syair, paling menguasai sastra, dan paling memahami al Qur'an dibandingkan ulama lainnya."
Karya-karya Imam Syafi'i
- Az Za'faron : Tentang dasar-dasar Hujjah
- Al Umm : Ilmu Fiqh
- Al Imla al Shaghir
- Mukhtashar Al Rabi
- Mukhtashar al Muzani
- Mukhtashar Al Buwaithi
- Al Amali Al Kubraa
- Al Risalah
- Al Jizyah
- Ilmu Ushul Fiqh
- dan lain-lain
sumber:
Prof.Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi'i (terjm)
Yusuf Syekh Muhammad Al Baqi, Koleksi Syair Imam Syafi'i (terjm)
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam
0 komentar:
Post a Comment