Sunday 31 May 2015

Hakim Yang Bodoh

Rasanya akhir-akhir ini tertarik menceritakan para hakim. Bukan apa-apa tergelitik dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi seputar hakim di negeri tercinta ini, :D. Hakim itu tangan kanan Allah memastikan hukum berjalan dengan benar di dunia. Tapi kok bisa tangannya Tuhan menyimpang dari kehendakNya. Biarlah Tuhan sendiri nanti yang memotongnya kalau mereka menyimpang. 

Kisah di bawah ini menceritakan hakim yang bodoh. kok bisa orang bodoh diangkat jadi hakim. Bisa lah...kan rajanya sepupunya sendiri :D.

Alkisah disebuah negeri yang tak tersebut namanya (cencored :D) ada seorang hakim yang berkuasa di sebuah daerah. Hakim ini sering membuat keputusan yang aneh, nyeleneh dan bodoh. Tapi masyarakat disitu tak berani bertindak, maklum dia masih keluarga kerajaan. 

Pada suatu malam yang sepi (zaman dulu selalu sepi ya, ga seperti sekarang) ada seorang pencuri yang mengendap-endap ke sebuah rumah. Dia hendak masuk ke dalam rumah tersebut melalui jendela samping. Malangnya, jendela tersebut ternyata belum terpasang dengan baik. saat pencuri memegang jendela, tiba-tiba jendelanya jatuh, si maling penuh jatuh ke tanah. guubraaak!!! nyaring suaranya membangunkan pemilik rumah. Sang pemilik berlari keluar rumah dan menemukan si maling sedang terlentang sambil merintih-rintih kesakitan.

"Siapa kamu?" tanya pemilik rumah. 
"Haduuuh, sakit, tulangku patah",Si maling hanya melenguh kesakitan. 
Ketika pemilik rumah melihat jendelanya rubuh tahulah dia bahwa yang tergelak itu maling. 
"Kamu maling ya," kata sipemilik rumah sambil memegang baju maling tersebut. disaat bersamaan, para tetangganya berkumpul di rumah itu karena mendengar keributan tadi. 

"Waaah, ada maling nih, gebukin aja biar kapok," teriak orang-orang. Kesal karena sering terjadi kemalingan di daerah itu. 
"Jangan main hakim sendiri," tukas pemilik rumah, "kita laporkan ke hakim saja "terangnya
Orang-orang yang berkumpul kurang setuju, mereka tahu hakimnya seperti apa, mereka saling berbisik, paling juga bebas, gerutunya. Tapi karena si pemilik rumah keukeuh mau membawa si maling ke hakim, akhirnya mereka setuju. 

Esok harinya, si pemilik rumah melaporkan maling tersebut kepada hakim. Hakim pun bertanya kepada maling tersebut yang dalam keadaan patah kakinya akibat jatuh dari jendela.
"Kamu maling ya?" tanya hakim
"Bukan pak Hakim, itu fitnah," jawabnya. 
"Laah, itu laporan dari orang ini kamu maling, memangnya kejadiannya gimana?" lanjut pak Hakim
"Pak Hakim, lihat kaki saya yang patah kan, ini perbuatan orang itu  Pak Hakim. waktu itu saya naik ke jendelanya orang itu, tiba-tiba jendelanya jatuh dan kaki saya patah. saya nuntut keadilan Pak Hakim." kata si pencuri. 
Pak Hakim berkata kepada si pemilik rumah, "Hai pemilik rumah, melihat keterangan dari korban dan bukti bahwa kakinya patah, maka kamu bersalah dan akan di pernjara, kalau sampai orang ini meninggal, maka kamu akan di hukum gantung, Sidang di tutup, "Kata pak hakim sambil mengetuk palu tanda pengadilan selesai tanpa menunggu pembelaan dari si pemilik rumah. 

Akhirnya si pemilik rumah terpaksa mendekam di penjara. Selang 3 hari, karena lukanya cukup parah akibat jatuh dari jendela, si maling itu meninggal dunia. Maka hakim kembali membuka persidangan dan memanggil si pemilik rumah. Setelah sampai di persidangan, hakim berkata kepada si pemilik rumah.

"Hai pemilik rumah, sehubungan korban jatuh kemaren meninggal dunia, maka kamu akan dihukum gantung," sambil hendak mengetuk palu. 
Buru-buru si pemilik rumah menjawab, "Maaf tuan Hakim, saya tidak bersalah. Kalau pun benar dia jatuh dari jendela saya dan menyebabkannya meninggal maka yang patut dipersalahkan bukan saya."
Pak Hakim tidak jadi mengetuk palu, dia lantas bertanya kepada si pemilik rumah, "Memangnya siapa yang salah?Katakanlah!".
"Yang salah pasti yang masang jendela saya Tuan. Andai saja dia memasang dengan benar jendelanya, tak mungkin orang itu jatuh kan Pak Hakim?" jawab si pemilik rumah dengan cerdik.
Pak Hakim ngangguk-ngangguk, "Benar juga kamu, demi keadilan, pengawal panggilkan orang yang memasang jendela pemilik rumah ini!" perintahnya kepada pengawalnya. 
Selang beberapa lama, hadirlah si tukang jendela. Hakim berkata kepada tukang jendela.
"Hai tukang jendela, benarkah kamu yang memasang jendela pemilik rumah ini,? tanyanya.
"Betul pak Hakim," Jawab si tukang jendela tanpa curiga. 
"Kalau begitu, kamu harus dihukum mati," Kata Hakim
"Loh, apa salah saya pak Hakim, kok saya dihukum mati?" Tanya tukang jendela penuh kekagetan.
"Ya, kamu harus dihukum mati, sebab gara-gara kamu masang jendela ga bener, terus ada orang yang naik ke jendela itu dan jatuh hingga mati, maka kamu penyebabnya." Jawab Pak Hakim. 
Tukang Jendela bingung, dan ia berpikir sebentar, ini hakim bodoh benar pikirnya, "Begini Pak Hakim, kalau soal itu, yang salah pasti bukan saya," terangnya.
"Kalau bukan kamu, siapa salah?" tanya Pak Hakim
"Seorang wanita yang berbaju merah Pak Hakim," Jawabnya
"Kenapa dia yang salah, apa hubungannya?" Tanya hakim
"Soalnya waktu itu, saya sedang memasang jendela siang-siang, eh dia lewat memakai baju merah, itu mengganggu konsentrasi saya Pak Hakim, siang-siang kok pake baju merah," Jelas si tukang jendela. 
"Ya masuk di akal, pengawal, panggil wanita yang lewat pake baju merah. Yang lewat waktu dia masang jendela!" perintahnya kepada pengawal
Tak berapa lama, pengawal membawa wanita pemakai baju merah ke pengadilan. Hakim bertanya.
"Hai wanita, kamu kenal kedua orang ini?" tanya hakim
"Kenal tuan, mereka tetangga saya, yang satu orang kaya dan satu lagi tukang bangunan,"Jawab si wanita.
"Kamu pernah lihat tukang bangunan itu memasang jendela orang kaya ini saat kamu berbaju merah?" Tanya Hakim
"Benar, Pak Hakim, waktu itu saya pulang belanja lewat rumahnya, dan saya lihat dia lagi masang jendela," jawabnya 
"Kalau begitu, kamu bersalah, gara-gara lewat pakai baju merah, jadinya si tukang ini ga konsentrasi, jadi masang jendelanya ga bener.  Dan ada orang yang naik jendela orang kaya ini sampai terjatuh dan mati, kamulah penyebabnya. Kamu akan dihukum mati." 
Si wanita kaget, tapi dia sudah tahu kalau hakim ini terkenal bodoh, dia menjawab dengan tenang, "Pak Hakim, yang harus dipersalahkan karena baju saya merah, bukan saya pak hakim. Pastinya tukang celup baju saya, kenapa dia memberikan celup warna merah, coba kalau warna putih atau kuning, ga akan ganggu orang."
Pak Hakim setuju dengan jawaban wanita itu, akhirnya dicarilah tukang celup baju. dan pengawal mendapatkan tukang celup baju yang badannya tinggi, dengan tinggi 2 meter lebih . Maka Hakim pun memutuskan bahwa si tukang celup baju itu. Dan si tukang celup tidak bisa memberikan jawabannya yang tepat. Maka diputuskanlah saat itu juga tukang celup digantung. 
Algojo pun keluar dari pengadilan sambil membawa si tukang celup untuk di gantung. tak berselang lama dia kembali ke ruangan sambil tergopoh gopoh.
"Kenapa balik lagi, algojo," bentak pak hakim
"Maaf Tuan Hakim, tukang celupnya ketinggian, kemarin kita  membuatnya untuk orang kaya, jadinya  si tukang celupnya ga ngegantung," Jawabnya sambil ketakutan kena semprot hakim. 
"Dasar bodoh kamu algojo, kenapa kau tidak cari tukang celup yang pendek, segera cari dan gantung dia," perintahnya
Akhir kisahnya yang kena gantung adalah seorang tukang celup yang pendek yang tidak tahu sedikitpun permsalahannya. 
Semoga negeri ini jauh dari hakim-hakim yang demikian. Rasulullah bersabda bahwa kehancuran suatu kaum diawali dengan bagaimana hukum itu ditegakan. kalau hukum hanya tajam ke bawah, maka itulah tanda sebuah negeri akan hancur. Na'udzubillahi min dzaalik






Saturday 30 May 2015

Abu Nawas Dan Hakim Yang Jahat

Ada gak yah hakim kayak gini nih di Indonesia??
Pada suatu sore Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya, tiba-tiba ada dua orang tamu datang ke rumahnya. Yang satu seorang ibu pemilik warung kopi dan yang satunya lagi seorang pemuda orang mesir.  Setelah berbincang bincang sebentar dengan ibu penjual kopi Abu Nawas ngobrol dengan pemuda Mesir.  Setelah ngobrol panjang lebar menceritakan kesusahannya pemuda dan ibu itu pulang.

Setelah ibu dan anak muda itu pulang, Abu Nawas menyuruh muridnya berhenti belajar. Kemudian berkata,”Murid-muridku, nanti malam kalian datang lagi kemari, bawa cangkul, linggis dan alat apa saja yang bisa buat bongkar bangunan.”
Murid-muriidnya bertanya,”Buat bongkar bangunan apa tuan guru?”
Abu Nawas,”Bawa saja, nanti malam aku jelaskan.”

Sesuai perintah Abu Nawas, malam harinya para murid Abu Nawas berkumpul di depan rumah Abu Nawas komplit dengan alat-alat yang diminta, ada yang membawa cangkul, golok, linggis dan kapak. Abu Nawas memanggil mereka dan berkata,”Murid-murid, sekarang kalian datang ke rumah Pak Hakim, hancurkan rumahnya!”

Murid-muridnya pada terkejut dan bertanya,”Kenapa Tuan kami harus menghancurkan rumahnya?”
Abu Nawas,”Lakukan saja!”

Murid-muridnya tak ada yang beranjak satupun, mereka serba bingung dengan perintah Abu Nawas.
Abu Nawas mengerti keraguan murid-muridnya, dia memperjelas perintahnya,”Kalian berangkat saja ke rumah Pak Hakim, hancurkan rumahnya, kalau ada yang mencegah kalian teruskan aja jangan dipedulikan, nanti kalau ada yang bertanya, katakan di suruh Abu Nawas!”

Setelah mendengar penjelasan Abu Nawas, mereka yakin dengan perintahnya, beramai ramai berangkat ke rumah pak Hakim, tanpa dikomando lagi segera mereka menghancurkan rumah Pak hakim. Jendela, kaca dan pintu hancur berantakan begitu pula pagar rumahnya. Tetangga pak Hakim pada berkumpul heran melihat kelakukan murid-murid Abu Nawas, mereka berusaha menghentikan perusakan, tapi karena jumlah murid Abu Nawas banyak, mereka akhirnya membiarkannya.
Mendengar keributan di luar, Pak Hakim segera keluar rumah, dan kaget dia  melihat banyak orang-orang yang membawa senjata dan menghancurkan rumahnya.

Pak Hakim berteriak,”Hai, sudah gila kalian, kenapa kalian menghancurkan rumah saya?”
Murid-murid menjawab, “Kami disuruh Tuan Guru kami Abu Nawas,”.
Habis menjawab begitu murid-murid Abu Nawas melanjutkan menghancurkan rumah Pak hakim sampai rata dengan tanah. Pak hakim hanya bisa marah-marah, tapi dia tidak bisa menghentikan perbuatan mereka karena terlalu banyak. Dan tak ada satu pun orang yang membantunya.
Pak Hakim berteriak-teriak, “Dasar Abu Nawas, sudah gila kau, awas ya, besok akan aku adukan ke Baginda, biar dia penjara seumur hidup.”

Esok harinya, pak Hakim mendatangi Baginda Raja dan mengadukan perbuatan Abu Nawas. Setelah menerima laporan, Baginda memerintahkan prajuritnya untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas menghadap Baginda, ia ditanya, “Abu Nawas, benar kamu menyuruh murid-muridmu menghancurkan rumah hakim itu?”
Abu Nawas menjawab, “Benar Baginda, sebabnya ialah, semalam hamba bermimpi Tuan Hakim menyuruh saya menghancurkan rumahnya sebab rumah itu sudah tidak cocok lagi dengannya, Dia mau membangun yang lebih luas Baginda.”
Baginda heran dan berkata, “Hai Abu Nawas, memangnya boleh hanya dengan mimpi kamu melakukan  sebuah perintah? Hukum darimana yang kamu pakai itu?”
Abu Nawas menjawab, “Hukum tuan Hakim sendiri, Baginda,”
“Hai Hakim, apa benar kamu punya hukum seperti itu?” Baginda bertanya.
Hakim hanya diam saja dan menunduk. Baginda pun jengkel merasa dipermainkan.
“Abu Nawas jangan membuatku bingung, coba kamu ceritakan bagaimana ceritanya?” Perintah Baginda

Baiklah Baginda,” Abu Nawas menjelaskan, “Baginda, beberapa hari yang lalu ada seorang anak muda berdagang ke kota Bagdad ini sambil membawa harta yang banyak. Pada suatu malam dia bermimpi menikah dengan putri Hakim dan membayar  mas kawinnya sekian banyak. Mimpinya itu sampai kepada Tuan Hakim. Si anak muda ini diminta mas kawinnya seperti dalam mimpi. Jelas, anak muda itu tidak terima. Di sinilah Baginda, kezaliman pak Hakim, dia merampas seluruh harta anak muda tersebut sehingga dia terlunta-lunta di kota Bagdad. Akhirnya seorang ibu penjual kopi menolongnya dan mengantarkannya kepada saya, demikian Baginda awal kisahnya.”

Baginda terkejut mendengar cerita Abu Nawas. Tapi karena ceritanya meragukan, Baginda memerintahkan membawa anak muda dari mesir tersebut ke hadapannya. Karena anak muda itu ikut dengan Abu Nawas, tetapi hanya menunggu di depan istana, dalam waktu yang singkat dia datang ke hadapan baginda.
“Hai anak muda, ceritakan kepadaku tentang kisahmu di kota ini, jangan kau tutup tutupi sedikitpun!” Perintah raja.
Anak muda tersebut menceritakan peristiwa yang menimpanya persis seperti yang diceritakan oleh Abu Nawas. Dia pun membawa saksi  yaitu pemilik penginapan tempat dia tidur dan ibu penjual kopi.

“Kurang ajar, aku ternyata telah mengangkat seorang hakim yang zalim.” Baginda raja murka dan berkata kepada hakim “Hai Hakim, sekarang juga kau dipecat, dan seluruh harta bendamu akan diserahkan kepada anak muda ini.”

Setelah perkara selesai, dan harta bendanya kembali, anak muda mendatangi Abu Nawas dengan membawa berbagai hadiah sebagai tanda terima kasih. Namun Abu Nawas berkata, “Janganlah engkau memberiku barang sesuatupun kepadaku. Aku tidak akan meneriman.” Anak muda itu semakin kagum kepada Abu Nawas. Dan kisah hidupnya dia ceritakan di negeri Mesir setelah kepulangannya. Sehingga nama Abu Nawas semakin terkenal.

Adakah hakim seperti ini di negeri kita?
Anda bisa melihatnya di televisi dan surat kabar....Andai saja ada orang seberani Abu Nawas dan sebijaksana pemimpinnya...



Dewi Rengganis Nyimas Argapura Bagian 3

Rahaden Iman Suwangsa mingkin temen bae ngintip socana kumedep tasma, teu pisan ngiceup saeutik, jeung pareng teu beresin, ambekan oge dipegung, napas henteu dilepas, nyaur salebeting galih, boa ieu nu sok malingan kembang. Ayeuna mah kanyahoan tangtuna matak balai lamun lumpat dek diudag dicerek sanajan ceurik, tayoh geus jadi carik, curuk metik tunjung tutur, rupana geulis pisan, saumur kakara manggih, geus kagendam Suwangsa ku kageulisan.

Nyaur deui dina manah, palangsiang jin iperi, henteu aya kalangkangan, henteu kajudi ku ati lamun jalma istuning tmana jalma asup, henteu puguh datangna, lawang masih keneh ngunci, jeung dijaga dilawang ku gulang gulang. Ku Suwangsa geus kamanah, ieu teh lantaran kami paeh ku awewe eta, mun henteu kalakon panggih, sapoe tujuh kali, tangtu diri kami pupus sanajan wurung hilang, moal burung diri kami kaedanan moal beunang diubaran. 

saenggeus reres siramna, Kusumah Rara Rengganis hanjat sarta salin sinjang limar peremas raspati, raksukan sutra kuning wuwuh lucuk matak wuyung, jeung pantes paningkahna santeb leleb andalemi, jeung panganggo murub mubyar diperemas. Panganggo Kusumah Rara kabeh yasana pribadi, kekemben sinjang peremas, wantuning istri binangkit, Retna Dewi Rengganis salira miyuni santun, panangan nganggo geulang, emas kolot anting anting, cucuk konde inten mirah berlian. 

wangina tanpa gagandan, wantuning bawa ngajadi, lain minyak lain kembang, wangi bijil ti jasmani, nu matak Nyi Renggans disebut miyuni santun, santen kabina bina raspaati mumulet ati salawasna Rengganis matak kabita. Rengganis lamun lumampah, taya nu bosen ningali satingkah tingkah lampahna, saparipolahna wingit, lengkah Ratna Rengganis gandrung gandrung matak nguyung, sinjangna nyapu lemah wuwuh matak tambah geulis, salampahna Rengganis ngan matak bingbang.

Kersana dek metik kembang Kusumah Rara Rengganis kembang nu dilarang tea, sakur sekar nu sareungit nu larangan istuning, enya eta tunjung tutur jeung kembang sumarsana, enggeus top Retna Rengganis metik kembang sarta lajeng diambungan. Rahaden Iman Suwangsa nyaur dina sajeroning galih, sidik yen ieu jalmana, nu maling puspitasari. Retna Dewi Rengganis eukeur metik tunjung tutur, Raden Iman Suwangsa alon lungsur tina katil, ngedeukeutan ka Rengganis di pungkurna. Rengganis keur bongoh pisan cara lampahna sasari suka suka milih kembang nganteur sakarep ati, 

Digeretak Rengganis, digebah ditunjuk tunjuk ku Raden Narpatmaja, tapi bari mesem manis, "nyeta ie anu sok malingan kembang".
Rengganis kaget kacida, reuwas sarta semu isin, barang geus patingal tingal, lir kilat barung lan tatit, hartosna geus sapikir, duanana ngandung semu, anging Rara Kusumah, wantu wantu watek istri paribasa kerak pacampur jeung hayam, nyaur dina manahna Kusumah Retna Rengganis "Tangtu ieu nu kagungan, saeusining tamansari, kasepna pilih tanding, estu pameget pinunjul , mider ing rat buana, neangan teu sanggup manggih" bari emok Rengganis handapeun kembang. Nya bener piwuruk ama, sakecap teu pisan sisip, ayeuna enggeus karasa, pinanggih ku diri kami, jeung kajudi ku ati, nu kagungan sanget bendu, moal meunang sumingkah, tanwande manggih balai, lara wirang ayeuna tangtu kasorang. 

Cara ngagebah ka budak, si jenet ku matak sedih dumeh dumeh putra raja, matak reuwas teuing pikir, ngagebah bari seuri, eukeur metik kembang tunjung tutur, kembang datang ka  murag. sibeler kandar ka sisi, abong kena ku kasep diugung pisan. Nagilir Iman Suwangsa, seja megatan Rengganis, Kusumah Ing Argapura, resep pabaur jeung isin, Raden mandeng ningali, Retna Rengganis tumungkul  ngawatek kinasihan jeung sagala isim isim.

 Lajeng Raden Iman Suwangsa mariksa. "Eneng nu timana? asa kakara papanggih, saha jenengan Nyai?reujeung timana nya lembur? nyai teh putra saha?".
Ngawalon Retna Rengganis, mutuh lucu paningkah nu ngawalonan. Capetang jeung rada centang, goyang dua antingna pokna," Sumuhun pariksa, sayaktosna jisim kuring istuning urang sisi, imah lembur luhur gunung, patapan Argapura, Rengganis ngaran sim kuring, bapa kuring katelah Raja Pandita."
Nyaur Raden Narpatmaja," Eh nyai Ratna Rengganis, maneh kumaha sababna wani ngambah taman sari? jeung leuwih kumawani ngala kembang tunjung tutur, saha anu marentah?"
Ngawalon Retna Rengganis," Henteu aya ka sim kuring nu marentah. Kuring ngambah patamanan seja sim kuring pribadi, metikan kembang kagungan, pon seja kuring pribadi, ayeuna jisimm kuring nyanggakeun badan sakujur."
Nyaur Iman Suwangsa,"Maneh keuna hukum pati, tina sabab maneh teh nyorang larangan."

Lajeng Nyimas Argapura lambeyna imut saeutik. Raden Arya Narpatmaja diimutan ku Rengganis, manahna langkung manis, raos kagunturan madu teu aya papadanana, yen diimutan nu geulis, Narpatmaja micara di jero hate,"Rasa kami saayeuna, lamun ditinggalkeun balik, ku ieu Nyi Argapura, gues tangtu kami teh gering, jeung moal cageur deui, kadangkala pondok umur, geus karasa ayeuna, dibere imut saeutik, pikir kami lumenyap dek kapaehan."

Lajengkeun ka Dewi Rengganis bag 4

Friday 29 May 2015

Jangan Menyakiti Orang Mati Meskipun Dia Orang Kafir

Dalam surat Al Humazah kita dilarang untuk saling memaki, mencaci dan mengumpat orang lain. Larangan tersebut tidak hanya berlaku kepada orang yang hidup, tetapi juga terhadap orang yang sudah mati, meskipun dia orang kafir. 

Diriwayatkan suatu hari Rasulullah Shallallahu alahi wasallam melakukan sebuah perjalanan dari kota Makkah menuju Thaif beserta rombongan yang di antaranya terdapat Abu Bakar Shiddiq r.a dan putra putri Sa'id bin Al Ash. ketika mereka melewati kuburannya  Said bin Al Ash, Abu Bakar bertanya," Kuburan siapakah ini?
yang lain menjawab, "Said bin al Ash."
Abu Bakar, "Semoga Allah melaknat penghuni kuburan ini, dia telah memerangi Allah dan Rasulnya selama hidupnya."
Mendengar kata-kata Abu Bakar, Amr bin Said meradang. dia membalas," Ya Rasulullah, ini adalah kuburan orang yang lebih banyak sedekahnya dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding Abu Quhafah," (Abu Quhafah adalah ayahnya Abu Bakar)
Abu Bakar berkata,"Apakah engkau rela Ya Rasulullah, dia berkata seperti itu kepadaku?"
Rasulullah menjawab,"bertutur katalah yang baik wahai Abu Bakar, wahai Amr,"

Kemudian Amr bin Said memisahkan diri dari rombongan Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw memperingatkan Abu Bakar, "Wahai Abu Bakar, jika engkau hendak menyebut orang kafir, sebutlah mereka secara umum. karena jika engkau khususkan kepada orang-orang tertentu, maka itu akan membangkitkan  perasaan empati dari keturunannya."

Sejak saat itu, kaum muslimin tidak pernah lagi menyebutkan kejelekan-kejelekan orang kafir yang telah mati secara perseorangan. 
Rasulullah saw juga melarang mencaci orang-orang musyrik yang terbunuh dalam perang Badar. Beliau bersabda,"Janganlah kalian meenghina mereka, karena mereka tidak akan pernah rela dengan apa yang kalian katakan. Kalian hanya akan menyakiti keluarganya yang masih hidup. Sesungguhnya hinaan itu adalah perkataan yang keji,"

Sejak kembali dari perang Uhud, para sahabat terus menerus mendesak Rasulullah saw, agar mengutuk orang orang kafir Quraish. Namun Rasulullah saw menolaknya, Beliau berkata,"Sesungguhnya aku diutus dengan penuh rahmat, bukan untuk melaknat."
Andai umat Islam mengikuti langkah-langkah Rasulullah saw, tidak ada orang yang saling mencaci, melaknat, saling menghina. Jangankan terhadap orang yang hidup bahkan terhadap orang yang telah matipun Rasulullah melarangnya. Bagaimana dengan kita??????

Thursday 28 May 2015

Ratna Rengganis Si Cantik nan Sakti bag. 2

Ganti nu dicatur deui, enya eta Raja Putra nu ki Karang Kadipaten, Rahaden Iman Suwangsa, linggihna di mandapa parekan kumpul ngariung, kabeh sami ngadeuheusan. Raden Suwangsa sayakti tacan salulut jeung garwa salamina papanganten, pasaur oge teu acan, sadaya emban emban milu suahna kalangkung kusabab juragan pista.

Kabeh sedih kingkin kacida ngantosanana, kana saena panganten jengkel tacan kalagian, upama nu ngantosan lir bulan ragrag ti luhur, kitu upama keselna. Warna warna para nyai anu ngomongkeun juragan kusabab teu acan sae, warna warna ngarupatna, sawareh basa jawa, kapan baya Gusti ningsun, jijimanah ingkang garwa. Sajeroning tujuh peuting, Rahaden Iman Suwangsa, anggung gawe bendu bae, manahna rea kacua, tina lantarang kembang unggal poe tangtu mundut, kembang keur anggoeunana.

Ka sakabeh para nyai, emban baku tukang kembang, nu purah metik ti kebon, ari di mangsa harita pareng katitiwasan kapalingan tunjung tutur, suker pikiran juru sekar. Teu harti jalan nu maling, bisa asup ka jero taman, kapan lawang ngunci keneh, saha bae manusana, wani ngambah larangan tayoh enggeus bosen hirup, mun kapanggih dipaehan. Kabeh enggeus baradami, para nyai jurusekar, geus datang ka Kadipaten, henteu ngantos dipariksa, lajeng bae unjukan, kapalingan tunjung tutur, sami ruksak pepetetan.

Sanggeusing ngadangu warti, Rahaden Iman Suwangsa, ngarengkol bawaning jengkel, sedih kapalingan kembang raos dicaluntangan, tapi teu katawis bendu, disimpen di jero manah. Geus kitu jengkar ti bumi, angkat ka Banjaransekar, saabdina turut kabeh upacara nu ti heula, emban dangdan maridang, panggona hurung mancur, disawur ku paningkahna. Kacaturkeun enggeus sumping, Raden Arya Narpatmaja lumebet ka jero kebon, anging henteu nyandak rencang, kabeh kantun di lawang, ditimbalan tunggu tunggu, tuguran ku sarerea.

Raden Suwangsa lastari, ngaronda ka patamanan ditingal yen ruksak kabeh, peta peta pepetetan, lajeng angkat ka wetan, ningal kembang naga santun, nguriling di patamanan. Papageran tamansari, beres aturan sayuran, pepelakan pepek kabeh teu disebut sakabehna, warnaning patamanan, jambe cengkir candana rum, kapol pala palawija. Kaciri urut nu maling, barusik ruksak kacida, sarta geus dijajah kabeh, anu resik jadi ruksak, urut dikurusukan, tapi teu burung kayungyun ningal peta pepetetan. Sakur sekar nu laleutik sami ngangsar kana lemah jeung dina jambangan kabeh, ergulo jeung sumarsana, ngajajar kembang pacar, pacar cina keling kuku, sakabeh dina jambangan. Gedah wungu, gedah putih, gedah beureum jeung kasumba, sawareh ku gedah hejo, beunang ngadamel ngahaja, wantuning putra raja, Raden Repatmaja maju, angkat ka tempat jambngan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kacatur  Rengganis siram, geus disalin ku cawening, sutra ipis patelesan, sarta ngirab ngirab weni, mawur gambir malati kembang layu dina gelung, rambutna patah lontar, panjang nepi kana bitis, lulus lui teu aya huis salambar. Kacatur Rengganis siram Kusumah Rara Rengganis, mesek ngosokan salira, sarta nganggo sabun wangi, ambrih wuwuh beresih, saban siram tara rusuh, tumaninah kacida, ditingali ku nu ngintip, bitis tembong ngagebray cara parada.


Rengganis henteu uninga, yen Raden Suwangsa ngintip, tumaninah bae siram, ngaruru saluar diri, siga emas disangling, salira anu ngaruru, siram di jero taman, babasah sutra cawening, yen ditingal siga henteu nganggo sinjang. Rahaden Iman Suwangsa mingkin temen bae ngintip socana kumedep tasma, teu pisan ngiceup saeutik, jeung pareng teu beresin, ambekan oge dipegung, napas henteu dilepas, nyaur salebeting galih, boa ieu anu sok malingan kembang. 

Lajengkeun ka  Rengganis bag 3, pendak sareng Raden Suwangsa


Wawacan Pangeran Purnama Alam bagian 1

karangan: R. Suriadireja

ASMARANDANA

Wiwitan anu digurit, aya sahiji nagara, gede sarta leuwih rame, ngaran nagara Riskomar, dina jaman harita, kamashur ku tina unggul, ti saban nagara lain. Kereta sartana mukti, henteu aya kakurangan, sumembor ka nagri sejen, tina kamulyaanana, sagala kahasilan, samalah enggeus kasebut, huluwotan dayeuh lian. Ari nu jadi narpati, ratu di nagri Riskomar, Sri Maha Dewa Pramayon, kongas adil palamarta, pinter sugih tur gagah, loba ratu anu taluk, jadi bawah parentahna. 

Kagungan putra sahiji, Sang Ratu ti prameswara, pameget kalangkung kasep, dina jaman harita mah, kongas ka sabuana, kakasihna nu mashur, Pangeran Purnama Alam. Istu kasep taya tanding, jadi mustikana rupa, bawaning ku langkung sae, asup kana paribasa, ku urang nagri eta, tina pada nadah lucu, disebut cahaya dunya. keur kasep katambah lantip, netepan kasatriaan, taya bundening goreng, wantu bener kusumahna, nyekel karaspatian, lungguh pancuh wuwuh ampuh, nyegah sakur lampah salah.

Ngan aya ku paerkawis, pasangaran salirana, nu narik kana ocogeh, lantaran leuwih kasepna, loba nu kaedanan, asal kapincut kairut, istri istri sadayana. najan nu boga salaki, ngadadak menta ditalak, hayang ka Pangeran Anom, tapi arambon sorangan, taya nu dilawanan, kantun ngaberung napsu murudul abrul abrulan.

Tatapi sang Putra tigin, henteu bingbing teu kagembang, ku istri anu tarembong, nutup anjeun di kaputran, lenggah di pagulingan, buku anu digugulung, nalek sakur kitab kitab. Sabab anu dipigalih, gampang lampah kalacuran, hese mun ngalap pangartos, bagbagan kasasmitaan, margi langkung kekelna, nyurupkeun ka jero kalbu, nyangsangkeun kana pangrasa.

tambah harita geus nyangkin, papacangan baris garwa, pangreremo sang Narpatos, Kaswati jenenganana, putri nagri Ambarak, rujuk sepuh pada sepuh jalan hayang bebesanan. Tatapi matak ngajadi, sumpeg galih sang Sri Nata, aringgis reremo bedo, kusabab Pangeran Putra, tacan kersa garwaan, da keur junun ngalap elmu, palay jembar pangawasa.

Mungpang ka pangersa Gusti, Pangeran Purnama Alam, teu kerja jadi panganten, ka putri Ratu Ambarak, malah aya saurna, kajeun dihukum digantung, dibuang ka tempat anggang. jeung tinimbang kana kenging, ku rama dipaksa nikah kajeun ngalolos ngaleos, nyingkiran ka nagri lian, kitu manah Sang putra, atuh Ratu wuwuh ewuh, sumawona prameswara.

Turug turug sering nampi, serat di Ratu Ambarak, ka kersa Maha Narpatos, ngangkeran nikahkeun putra, tina enggeus sedengna, nikahkeun nya mulung mantu, ka sang Pangeran Purnama. Eta leuwih leuwih jadi, sumpeg galih Sang Sri Nata, ari arek neda bedo, tindangtu jadi isinna, ku Sang Ratu Ambarak, malah tangtu aya tungtung, kana marga kaawonan. kadangkala sami lali, bawaning nular cecela, awal ahir hujan pelor, wantu sami jembar manah, ngambah ing danalaga, pada cukup bataliun sami tedak senaptya

Sareng Perkawis ka sumpeg Seri Maha Raja, marga Sang Pangeran Anon ku Raja geus kauninga, matak guyur nagara, ngusutkeun pikir nu lembut, nyusahkeun para kapala. Gujrud awewe sanagri, pada nandang kaedanan, paroho ampir garelo, sok aringgis jadi matak, sangar nagri Riskomar, Ratu langkung paur kalbu, inggis bahya kumaonam

Wednesday 27 May 2015

Kisah Si Pahit Lidah bagian 1

Sebagaimana cerita-cerita rakyatnya lainnya, cerita si Pahit Lidah pun memiliki banyak versi. di Sumatera Selatan sendiri kisah si Pahit Lidah mempunyai versinya masing masing-masing. Salah satunya ada dalam hikayat negeri Jambi yang menceritakan bahwa raja y

ang pertama di Jambi adalah Tuan talani, mempunyai lima orang hulubalang; si Ganteng Perak, Si Mata Empat, Si Pahit Lidah, si Tajam Bukit dan si Tahi Mata.

Tuan Talani menitahkan si Pahit Lidah untuk menggali terusan sampai ke laut. pekerjaan itu dilakukan oleh si Pahit Lidah hanya dalam waktu se - Jam. dari perkataan se-Jam itulah nama Jambi muncul.

Kisah si Pahit Lidah yang akan disampaikan ini hasil dari usaha L.C. Westenenk yang menjadi Residen Bengkulu yang dialihbahasakan oleh Ahmad Grozali bin Mengkeren Gumaiy di Bumiagung (Pagar Alam) :

SI PAHIT LIDAH bagian 1

PENDAHULUAN

Bismillah itu permulaan kata,
dengan nama Allah Tuhan semesta
saya mengarangkan satu cerita
orang dahulu empunya warta

meski cerita mustahil rasanya
tak mungkin dipercayai kebenarannya
tapi melihat tanda buktinya
banyak akal orang menerimanya

Bekasnya ada nyata kelihatan
di pulau Perca sebelah selatan
disana menjadi sebut sebutan
orang tak lupa dalam ingatan

situ terjadi cerita ini
keterangan cukup di sana sini
orang membenarkan jadi berani
demikianlah sampai sekarang ini

Supaya tuan dapat pikirkan
tanda bekasnya saya tunjukan
tuan pembaca boleh saksikan
benarkah wartau atau pun bukan

Adapun pada amsa dahulu
di Perca Selatan sebelah hulu
seorang sakti masyhur terlalu
warta terdengar hilir dan hulu

Si Pahit Lidah itulah nama
sakti pahlawan lagi utama
apa katanya dapat menjelma
tikuspun boleh menjadi ama

Saktinya sangat bukan suatu
kabar terdengar ke sini situ
manusia banyak menjadi batu
perbuatan si Pahit Lidah itu

Banyak bekasnya didapat orang
letak tapaknya kampunya terang
orang ke situ tidaklah jarang
datang memuja berterang terang

bersambung!!! Si Pahit Lidah bag 2

Asal Usul Rengganis Si Cantik Nan Legendaris bagian 1

Dari sekian cerita yang pernah saya baca, kisah yang berulang-ulang di baca adalah Wawacan Rengganis. ada beberapa buku yang selalu dibaca berulang-ulang seperti Mushasi, Monte Carlo karya Alexander Dumas dan seribu satu malam, tapi kisah Rengganis ini yang paling sering saya baca, sangat menarik, hehe.. waktu kecil dulu kisah rengganis ini pernah di dongengkan sama Wa Kepoh di sebuah stasiun radio. jadi pas dapat bukunya seperti sebuah nostalgia masa anak anak :D. karena ada beberapa halaaman yang tak tercetak (kosong) terpaksa bagian itu dilewat. maklum buku tua. :D

Bicara tentang Rengganis, kisah ini memiliki banyak versi, di blog ini saya saya haturkan karangan R.H. Abdussalam. dalam bait terakhirnya beliau sampaikan dengan Pupuh Dangdanggula

Anu ngarang pituin pribadi,
bibit buit aslining sumedang
nu mangke bakal katembong
tandana anu saestu
nu dipambrih sangkan di ahir
sakabeh anak anak
teu hamham lumaku
kana bubuatan bapa, 
nu tetela pencaran ti Bojongjati
nya Haji Abdussalam

dikeureuyeuh ieu geus disalin
tina hurup arab ku walanda
sarta ku seuweuna tulen
nu matuh di Balubur
nya Limbangan nelah kiwari
distrik tilas nagara
kabupaten Garut
tawis nu rumaos nulad, 
disarengan ngahaturkeun salam ta dim,
wasta pun Candra Praja


mangga ka sadayana hususna di palataran Sunda prung ah...

WAWACAN RENGGANIS
Oleh : R.H. Abdussalam (Dep P&K)
Pupuh Asmarandana

Kacatur sahiji nagri, ngaran nagri Jamin erak, rajana tilar kadaton, anu matak luluasan, tina bawaning tresna, sungkawa manah kalangkung, ku sabab pupus garwana Jeung Kagungan putra  istri, sahiji didama dama, tegesna langung dienod, Rengganis jenenganana, kalangkung matak welas, rehing katilar ku ibu, tambah sumpeg manah rama.

Rengganis sedeng birahi, henteu acan carogean, baleg dek sengserang panon, jadi tambah tambah welas, rama ningal ka putra, ku bawaning sumpeg kalbu raja nilar kawibawan. Rupana kalangkung wingit mulus luis salirana, panceg pasipatan panon, capetang  bisa bicara, dangah wani ka tengah, imutna jadi pangirut, istri istri kaedanan jeung deui Dewi Rengganis, disebut Kusumah Rara, tegesna rara awewe reujeung  deui sok katelah, Nyaimas Argapura, sarta sakti bisa ngapung, bisa ngambah ngambah mega istri surti sarta sakti, teu memper memper manusa, Rengganis yen barang gawe, nyeples cara gagawean, Jin yen karajinan, Rengganis stu pinunjul, bangsa manusa kajinan

Nu matak Retna Rengganis, teu aya nu mapakan, geulisna sarta kasakten, tamplok kabeh ti ramana, karosan kadigjayaan, tuhu titih misah musuh, wanter jeung pinter aturan  Ngider di sakolong langit, di satangkaraking lemah, asa moal manggi bae, nu jiga Kususmah Rara, bagja nu ngabogaan, jodo ka Sang Ratna Ayu, kusumah ing Argapura

Hiji mangsa Nyi Rengganis, disauran ku ramana, di payuneun rama mando, sarta hade panatana, lajeng Raja Pandita, nyaur sarta manis mulut, "Aduh enung anak ama. Ama dek nanya ka Nayi, Nyai teh entas timana, sajero ning tilu poe, Nyai teh bet undur datang, pulang anting ka mana, ulah sok nyaba teu puguh, naha naon nu diteang. Reujeung deui eta Nyai, bet mawa kemban timana, sumarsana jeung urgelo, jeung kembang naga puspita, alus matak kabita, reujeung kembang tunjung tutur, timana Nyai nya meunang. Tapi ku ama ditaksi, eta nu kagungan kembang, moal jalma jore jore, taksiran kagungan raja, ningal rupaning kembang, sumarsana tunjung tutur, pantes kembang kalangenan. Cik gera bejakeun  Nyai, ka ama nu saterangna'"

Retna Rengganis ngawalon, "Sumuhun pariksa rama, jisim kuring teh nyaba, patamanan anu dijugjug, seja kuring ngadon siram. Caina kalangkung wening, dia jero patamanan, resep ningal sai cfur cor, caina lunyu jeung herang, ngadon mandi di dinya, sim kuring pikir kapincut, endah lir taman sawarga. Katelah Banjaran Sari, tegesna teh kebon kemban, nu kagungan eta kebon, Rahaden Iman Suwangsa, sangputra Raja Arab, tapi kuring tacan wawuh, tacan uninga rupina".

Raja pandita ngalahir, kaget sarta nepak dada, "naha enung ku nahaon, sababna maneh nu matak, wani wani ka dinya, ganggu kagungan ratu, lain sasama maneh. Ama mah inggis ku bisi Nyai teh dikaniaya, diwirang wirang kantung goreng, masih mun teu kanyahoan."

Matur Kusumah Rara ," sugan moal dumeh ratu, murba teu mariksa heula. Sareng sim kuring teu ajrih, perang tanding kadigjayaan, jeung Raden Dipati Anom, dumeh awese kuring mah, disangka moal tahan."

Cek Pandita, "Sok amberung, dengekeun omongan ama. Sarta regepkeun ku Nyai, ama arek cacarita, sanajan rea dui ge, putrana Bagenda Hamzah, anging Iman Suwangsa, digadang jumeneng ratu, sabab terusing kusumah. Ibuna perjurit sakti, Putri Kelan Kelaswara, jadi janget kina telon, ibu padmi rama raja, sarta didama dama, anu ngasuh oge ratu urang Halab Raja Maktal. Jeung deui putra kakasih, sarta enggeus beurat beunghar, geus ngadamel kadipaten, sarta jeung anyaran nikah, pangereremokeun rama, nu matak ama palaur, reuwas rempan ku manehna. Raden Dewi Sulasikin, jenengan garwa Suwangsa, anging tacan sapatemon, eta putra Jamin toran, nu matak ama melang, kuma onam putra ratu, kuma lamun kauninga. Meunggeus ulah deui deui, ngalaan kembang kagungan cua manah menak gede, meugeus bae ayeuna mah, bisi maneh dirampas, temahna tangtu kabitur, yen maneh sok ngala kembang. Nu matak ulah dek wani, ganggu ka kagungan raja, lamun nyai tacan nyaho, nu jenengan Sultan Arab terusing waliyullah, upama manahna bendu, geus tangtu matak katulah."

Imut Nyai Rengganis, ngadangu piwuruk rama, cicing bae teu ngawalon, semu resep ka piwulang, tapi dina manah mah, papahare jeung piwuruk, da resep ka kebon kembang. Rengganis sok maling, ana dek nyaba ka taman, ku rama sieun katangen, teu aya pisan baturna, taya anu maturan, sigeg heula teu kacatur, nu aya di Arga Pura.

Ganti anu dicatur deui, enya eta Raja Putra, nu di Karang Kadipaten, Rahaden Iman Suwangsa, linggihna di mandapa, parekan kumpul ngariung, kabeh sami ngadeuheusan

Tuesday 26 May 2015

Hikayat Perang Sabi (Masa Prang Aceh Ngon Belanda) Bagian 1

Karangan: Teungku Pate Kulu

Deungon Bismillah sipatah kalam
Haba karangan ulon mulai
Ka treb that hajat kasad lam badan
Mita krangan kisah Prang Sabi

Ka lon yue mita bak dum na rakan
Nyoe baro phon ban keu ulon gubri
Neubri Tuhanku umu lo panyang
Beusihat badan banya neupeusie

Neubri troh hajat kasan lontuan
Salen habaran kisah Prang Sabi
Nibak mula phou troh ujong tamam
hajat lontuan beusampoe neubri

kareuna kisah paidah ka trang
supaya rakan bandung keutahui
sabab kisah nyoe sibagoe intan
leupah meugah nan kisah Prang Sabi

Tuha ngon muda neubaca rakan
Pahla di sinan raya Tuhan bri
Geutanyoe dum na beuna tatuban
kisah haba prang negeri sendiri

Bit bisa reuncong ngon peudeueng panyang
Nyang leubeh tajam kisah Prang Sabi
Beulanda takot teuotji guyang
Deungon sabab nyan keubah han jibri

Masa Beulanda raya that larang
ureueng na simpan jiok jitadi
Kareunca haba bisa ngon tajam
leubeh bak parang nyan bak geukiki

Dum nakeuh haba bisa ken wayang
beulanda tacang hate beureuhi
jicok rirampah meugah tasimpan
beulanda suang hateji deungki

na mata mata mita nyang simpan
ureo ngon malan santuk jicari
oh kita jitusoe le reujang
keupada taun lapuran jibri

teuka le tantra jiba sinampang
jicok rampahsan ureuang jigari
jijok hikayat leugat bak tuan
jiba ureueng nyan jigral lam tangsi

ureuang meudike meusyae meujan
cit katroh keunan seupion ashi
dum nankeuh paloe be adoe intan
han jenet tasimpan kitab Prang Sabi






Monday 25 May 2015

Mpama Dou Mampinga Sa-Uma-Uma : kisah jenaka bahasa bima

wara wara ruana dou mampinga sa-uma uma. Mpinga amana, mpinga inana, mpingaanana, mpinga adana, ada siwena.
wara kai sabua ainaina, anana ede nalao tonggu mbeena lalo dou duana malampa, manee lao di rasa kolo. 
Edera sodi kaina ana dou ede, "E nggoke, be-ku ncai malao ese Kolo?"
Edera cambe kaina ba ana dou ede, "Mbee mbo ake mbee amaku, mbee siwe ake mbee inaku, mbee toi ake mbee ndaiku."
Edera ringa kai cambe ba anadou ede ba dou akande, "Na mpingaku pala anadou lako ake. Maira talaoku lampa."
Di Kontou dou ede, na dula ra anadou ede di umana. Pala inana wunga medina kafa.
Edera nggahi kai ba anana, "Ai Inae, wara dou duana akande masodi la mada. Cou ma ntau mbee ngenamu ede. Edera cambi kai ba la mada, mbee mbo, mbee amaku. Mbee siwe, mbee inaku. Mbee toi, mbee ndaiku."
Cambe kai ba inana, "Ai anae, ede si boco, boro si boro, sura wara ndadi salongi kai cada mboko amamu."
Ntika samporo mpara ba ede, narongga ja ra amana ma dula di doro. 
Edera nggahi kai ba inana, "Ai ama la Dambe. Na lao podara nggahi ro e dou ba anamu. Na nggahiku medi ausi ma boco si boro mandede. De cambe kaiba nahu, ededu na boco siboro, sura wara ndadi salongi kai cada mboko amamu."
Cambe kai ba rahina, "Nggahi au ma turu karawi lako ndede. bune ai nahu ma nee angi labo la Mpano? Bakaiku binata ede?"
Edera lao ngupa kaina la Mpano. Pala la Mpano wunga mba juna mubu. 
Edempara nggahi kaiba rumana, "Ai Mpano, nggahi puamu akande, nahu manee angi labo nggomi, binata ake loa podara nggahi. ka reeweku asamu ba nahu."
Edera cambe kai ba la Mpano, "Ai RUmae! Kone poda mpa la mada ada dou sampuru ruma, wati poda-poda cauku nduu mubu di nocu-nocu."
Ndedera nuntu ra mpama, dou ma mpinga sa uma-uma.




 

Cerita dan Legenda Rakyat Dunia © 2008. Design By: SkinCorner

Wilujeng Sumping

Selamat datang di blog saya, warnanya ceria seceria kisah yang akan disajikan :D "Dalam setiap kisah selalu terselip pelajaran hidup yang berharga"
Flag Counter