"Wahai Rasulullah, Aku punya permasalahan yang membuatku resah dan gelisah. masalah itu terjadi pada bulan Ramadhan yang belum lama berlalu. Kala itu waktu shalat shubuh telah masuk aku masih dalam keadaan junub. Bagaimana dengan puasaku kala itu? Bolehkan aku puasa dalam keadaan yang junub."
Tuesday, 23 June 2015
Kisah Hihkmah : Sahkah puasa orang yang berjunub?
"Wahai Rasulullah, Aku punya permasalahan yang membuatku resah dan gelisah. masalah itu terjadi pada bulan Ramadhan yang belum lama berlalu. Kala itu waktu shalat shubuh telah masuk aku masih dalam keadaan junub. Bagaimana dengan puasaku kala itu? Bolehkan aku puasa dalam keadaan yang junub."
Label:
Kisah Hikmah,
Kisah Islami,
Puasa
Kisah Hikmah : Amalan yang lebih baik dari 10 tahun beri'tikaf
Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) sedang beri'tikaf di Masjid Nabawi. Tiba-tiba datanglah seorang pria menemuinya dan mengucapkan salam padanya.
"Wahai Saudaraku,"ucap Ibnu Abbas setelah membalas salamnya, "Kulihat engkau resah dan gelisah, ada apa gerangan?"
"Benar wahai Ibnu Abbas, aku memiliki utang kepada seseorang. Demi penghuni makam itu (Rasulullah saw), aku tak mampu melunasi utang itu," jawab pria itu dengan perasaan sedih dan malu.
"Saudaraku!Bolehkah aku berbicara dengan orang itu?" ucap Ibnu Abbas.
"Tentu, silahkan, jika hal itu membuatmu pantas,"Jawab pria itu seraya berterima kasih
Label:
i'tikaf,
Kisah Hikmah,
Kisah Islami,
Puasa
Sunday, 21 June 2015
Kisah Jenaka : Si Kabayan meunang Saembara, kawin Jeung si Iteung
Di kampung si Kabayan aya jelema jegud katelahna si Abah Ontohod. Disebut Ontohod soteh da teu kaop nyarekan ka anak buahna teh sok bari nyebut dasar "ontohon siah" cenah. katelah bae ku urang kampung teh Abah Ontohod. Si Abah Boga parawan ngan hiji, kaasup geulis di kampungna mah ngan kulitna rada hideung, hideung santen katelahna mah, hitam manis tea. Kusabab kulitna hideung santen, anak si Abah sok dipanggilna si Iteung.
Si Iteung teh keur meujeuhna beger nyaeta keur resep ka lalaki, geus waktuna kawin cenah. Tapi si Abah embung boga minantu nu teu puguh, kudu hade, loba pamake jeung loba kabisa. Ngan teuing ku naon si Abah teh hayang boga minantu teh anu irungna seukeut. Nyeta seukeut ngambungna. Cenahmah supaya mun ulin ka huma bisa ngambeu jurig, maung, ajag jeung sasatoan lain ma'lum humana ge lega. Jadi bisa kabur samemeh di panggih jeung maung.
Kisah Hikmah : Imam Abu Hanifah r.a berdebat dengan Atheis
"Maha Suci Allah, Tuhanku tidak bisa dicapai oleh penglihatan,"Jawab Abu Hanifah
"Apakah engkau pernah mencium, mendengar, mengusap atau mencicipinya?" Tanyanya lagi
"Maha Suci Allah, Dia tidak sama dengan makhluk apapun, tetapi Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar." Jawab Abu Hanifah
"Kalau Anda tidak pernah melihatnya, tidak pernah mendengar suaranya, tidak pernah mencium baunya, darimana Anda bisa membuktikan tuhanmu itu ada?"Si Atheis mencecarnya.
Label:
Kisah Hikmah,
Kisah Islami
Kisah Hikmah, Imam Malik Radhiyallahu 'anhu : Perbedaan Derajat Ulama Saat ini Dengan Ulama Zaman Dahulu
Ketika Khalifah Harun Ar Rasyid berziarah ke makam Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di Masjid Nabawi, beliau melihat Imam Malik sedang menberikan pelajaran agama. Lalu ia berkata kepada Imam Malik
Tetapi Imam Malik berkata,"Ya Amirul Mukminin, ilmu itu didatangi bukan mendatangi."
Khalifah melarat ucapannya,"Kalau begitu aku akan menghadiri majelismu di masjid ini."
Imam Malik menjawab,"Kalau Baginda hendak mengikuti pelajaranku di majelis ini, Baginda tidak boleh terlambat dan aku tidak akan mengizinkan Baginda melangkahi jamaah lain."
Label:
Kisah Hikmah,
Kisah Islami
Thursday, 18 June 2015
Legenda Si Pahit Lidah 4 : Serunting Sakti berkelahi dengan Rie Tabing
tinggal sebagai kayu di hutan
Tabing kecewa bukan buatan
bagai hilang rasa ingatan
Adapun Serunting muda berbakti
pagi bangun kebun dilihati
sangat terperanjat di dalam hati
kayu pembatas hilanglah pasti
Kisah Si Pahit Lidah 3: Rie Tabing iri hati pada Serunting Sakti
hanya seorang adik perempuan
dalam dunia dua sekawan
suami Sitti Tabing bangsawan
Serunting itu tempat tinggalnya
jauh terpisah dari adiknya
di Padang Langgar letak rumahnya
rimba dan padang membatasinya
Wednesday, 17 June 2015
Legenda Dewi Rengganis 7 : Raja Amir Hamzah
Pangkur
Ganti anu dicatur
Sultan Arab jenengan Menak Amir
Dina waktu isuk isuk
Sang Raja Amir Hamzah
magelaran kumpul para ratu sewu
hurung mancur cahayana
panganggo para narpati
Anu calik dipayun, Raja Maktal anu jadi papatih.
Bagenda Hamzah ngadawuh,"Eh Yayi Patih Maktal, rasa kakang enggeus pirang pirang minggu, Ki Dipati Narpatmaja henteu ngadeuheus ka kami. Wantuning panganten anyar, sukur sewu geus lulut raki rabi."
Hikayat Melayu Siti Bidasari : Negeri Inderapura ; Syair Bidasari bag.5
Sebermula suatu peri
Sulatan berasa turus negeri
asal baginda raja yang bahari
di Inderapura nama negeri
Bernama Sultan Inderasyahperi
menaklukan raja dewa dan peri
negerinya ramai tidak terperi
segenap kampung tepuk dan tari
Kisah dari Bima Sangaji Ali : Maharaja Ali terpisah dengan anak-anaknya bag. 2
Pembantu raja melaporkan kepada raja tentang wanita dan anak-anaknya yang tak lain adalah isteri Maharaja Ali dan anak-anaknya.
"Aku ingin bertemu dengan wanita cantik itu. Kalau dia datang lagi meminta sedekah, suruh dia datang ke istana." kata raja. Pembantu raja menerima perintah raja dan menyampaikan kepada bawahannya apa yang diperintahkan raja.
Isteri Maharaja Ali kembali ke tempat suaminya yang sedang menunggu. Mereka memasak beras yang diterimanya dari sedekah di masjid. Puteri Hanin menceritakan bagaimana baiknya raja di negeri itu yang memperhatikan fakir dan miskin di negerinya.
Pada hari Jum'at berikutnya, Puteri Hanin dan anaknya berangkat ke masjid meminta sedekah. Di sana sudah berkumpul orang-orang yang meminta sedekah. Mereka senang akan mendapatkan sedekah.
"Ibu tidak dapat bagian di sini. Ibu harus langsung ke istana."Kata petugas sedekah saat Puteri Hanin meminta sedekah.
Berangkatlah ia ke istana beserta kedua anaknya. Ketika sampai di gerbang istana, hanya Puteri Hanin yang boleh masuk. Kedua anaknya terpaksa berhenti di luar istana menunggu ibunya.
"Ada keperluan apa gerangan Ibu datang kemari?" tanya raja setelah Puteri Hanin sampai ke hadapannya.
"Sudilah kiranya Baginda berbelas kasih kepada hamba dengan memberikan sedekah untuk keperluan hamba," Jawab Isteri Maharaja Ali.
"Baiklah, mari kita ke serambi istana," jawab raja
Mereka beranjak ke serambi istana. Setelah duduk, isteri Maharaja Ali menunggu jawaban dari raja. Namun raja hanya memandang Puteri Hanin menikmati kecantikannya. Karena raja tidak berkata apa-apa, Puteri Hanin pamit undur diri. Namun raja melarangnya, bahkan dia memerintahkan penjaganya agar menutup pintu gerbang dan menguncinya.
Anaknya yang sedang menunggu di luar sudah merasa kesal karena terlalu lama. Bertanyalah ia kepada para penjaga. Namun tak ada satupun penjaga yang memberi tahu, malah disuruhnya pulang karena pintu gerbang sudah dikunci.
Pulanglah kedua anaknya dengan perasaan sedih karena tidak bertemu dengan ibunya.
"Mana ibumu?" tanya Maharaja Ali
Kedua anaknya hanya menangis. Kemudian mereka menjawab
"Ibu di bawa ke dalam istana. Kami tidak boleh masuk, harus menunggu di pintu gerbang istana. Mereka menguci pintu gerbangnya. Kami sudah tanyakan ke petugasnya ibu kemana, tapi ga ada yang memberi tahu." jawabnya lalu menangis kembali.
"Alangkah dzalimnya negeri ini. Ayo kita tinggalkan tempat ini. Negeri ini tidak pantas untuk ditinggali. Lebih baik kita pergi mencari negeri lain yang lebih baik."Kata Maharaja Ali penuh dengan kesedihan.
Berangkatlah Maharaja Ali beserta anaknya meninggalkan Puteri Hanin dengan perasaan sedih yang amat sangat. Mereka berjalan melalui lembah, bukit, gunung dan hutan selama berbulan bulan. Di suatu tempat, mereka menemukan sebuah sungai. Namun tidak ada jembatan penyeberangan hanya ada penyewaan perahu untuk menyeberang.
"Tuan, kasihanilah kami, tolong antarkan kami ke seberang."Pinta Maharaja Ali
"Kalian punya ongkosnya?" tanya tukang perahu
"Maaf tuan, kami tidak memiliki apapun untuk membayarnya. kami orang miskin yang datang dari jauh." jawab Maharaja Ali
Mendengar jawaban itu, tukang perahu tidak mau menyeberangkan mereka. Terpaksa mereka berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir sungai berharap ada jembatan penyeberangan. Meskipun tidak terlalu dalam, namun sungai itu banyak dihuni oleh buaya yang ganas.
Di suatu tempat, mereka menemukan sebuah pohon tumbang yang melintang ke seberang.
"Nah inilah tempat kita menyeberang, ayo kita berjalan di atasnya dengan hati hati, jangan sampai jatuh."Kata Maharaja Ali
"Kami tak berani berjalan sendiri-sendiri, Ayah,"Jawab kedua anaknya
"Lalu bagaimana?" Tanya Maharaja Ali
"Kami ingin dituntun Ayah." Jawab anaknya
"Baiklah," Maharaja Ali menuntun satu persatu anaknya berjalan di atas kayu. Dituntunnya anak pertama menyeberangi sungai. Setelah sampai, Maharaja Ali kembali mengajak anak keduanya. Namun ketika dia mengangkat anaknya ke daratan, Maharaja Ali disambar buaya yang telah menunggunya dari tadi sehingga terjatuh ke dalam sungai, ia diterkam buaya sehingga kepalanya terputus dan hanyut ke sungai.
Kedua anaknya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap nasib ayahnya, mereka menangis tersedu-sedu. Pada saat itulah lewat seseorang dan menanyakan apa yang terjadi. Diceritakanlah kepadanya apa yang menimpa ayahnya. Merasa kasihan terhadap nasib kedua anak ini, orang tersebut membawanya ke desa dan menjadikannya sebagai anak angkat. Berhari-hari dan berbulan-bulan tinggal bersamanya, Johansyah dan Alisyah ternyata mempunyai pribadi yang baik, sopan dan rajin sehingga membuat orang tua angkatnya senang. Demikian pula orang-orang desa sangat menyukai mereka berdua. Maka diusulkanlah keduanya untuk menjadi pembantu raja. Sudah menjadi kebiasaan di desa tersebut jika ada pemuda yang baik akan dijadikan sebagai pembantu raja. Setelah diterima di istana mereka diberi tugas menjadi kepala keamanan di istana.
Tunda dulu kisah anak-anaknya. Kembali kepada Maharaja Ali yang kepalanya terputus terbawa sungai sampai ke lautan. Kepalanya yang terapung ditemukan oleh seorang ulama yang sangat sakti. Ulama tersebut dapat berjalan di atas air, memakai baju putih, di tangannya melingkar sebuah tasbih. Tak henti-hentinya ulama itu berzikir.
Ketika Ulama itu melihat kepala Maharaja Ali yang terombang ambing ombak, ia pun terdiam dan menitikkan air mata karena haru melihat kepala Maharaja Ali.
"Ya Allah! Hidupkanlah orang yang mempunyai kepala ini," Ulama berdo'a
Lama-lama nampaklah kehidupan pada kepala Maharaja Ali. Matanya mulai membuka
bersambung Sangaji Ali, Kisah dari Bima bagian 3
Biografi Umar Bin Abdul Aziz : Siapa Orang Tua Umar bin Abdul Aziz???
Suatu Malam Khalifah Umar bin
Khattab belusukan kota Madinah. Karena letih ia bersandar di sebuah dinding
rumah yang penghuninya adalah penjual susu. Tiba-tiba ia mendengar dari dalam
rumah pembicaraan seorang ibu kepada
anaknya yang perempuan :”Berdirilah dan campurlah susu itu dengan air!”
Anaknya menjawab :”Wahai ibu,
apakah ibu tidak tahu ketegasan Amirul Mukminin sekarang dalam menjalankan
perintahnya?”
“Apakah gerangan perintahnya?”
tanya ibunya
Anak :”Beliau telah menyerukan
kepada semua penjual susu, bahwa terlarang mencampuri susu dengan air.”
Label:
Biografi,
Kisah Hikmah,
Kisah Islami
Tuesday, 16 June 2015
Biografi : Umar Bin Abdul Aziz bag. 1
Umar bin Abdul Aziz adalah Abu Hafash Umar bin Abdil Aziz bin Marwan Bin Hakam Ibnul Ash bin Umaiyah bin Abdi Syam. Ibunya bernama Laila Ummi Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab, khalifah Islam yang kedua.
Umar bin Abdul Aziz adalah putera Syiria yang dilahirkan di kota Madinah pada tahun 61 H. Namun ada pendapat lain yang mengatakan lahir di Hulwan Mesir. Pendapat yang lebih kuat beliau lahir di Madinah. Adapula yang berpendapat bahwa Umar bin Abdul Aziz lahir pada tahun 63 H bertepatan dengan serbuan tentara Muslim bin Uqbah yang menyerbu negeri itu atas perintah Yazid. Kelahirannya dianggap sebagai simbol bahwa perdamaian akan dicapai pada kepemimpinannya.
Label:
Biografi,
Kisah Islami
Dongeng dari Bima : Kisah Sangaji Ali
Konon ada sebuah negara yang
dipimpin oleh seorang raja bernama Maharaja Ali. Dia mempunyai seorang isteri
bernama Putri Hanan dan tiga putranya yang tertua bernama Badarsyah, yang kedua
Johansyah dan yang paling kecil bernama Alisyah. Kerajaan yang dipimpinnya
sangat terkenal, banyak negara yang diitaklukannya.
Maharaja Ali terkenal sebagai
raja yang adil dan bijaksana. Namun kelakuan anaknya yang pertama yaitu
Badarsyah sangat menjengkelkan rakyatnya. Dia selalu menggoda isteri-isteri
atau anak perempuan mereka.
Karena tidak tahan lagi dengan
perbuatan anak sulung raja, mereka bersepakat untuk meninggalkan negeri.
Berduyun duyun mereka mendatangi pembantu raja.
“Ada apa gerangan kalin
bergerombol datang kemari?” Tanya Pembantu Raja.
“Maaf Tuanku, kami berniat untuk meninggalkan
negeri ini. Kami mohon pami.” Sahut mereka
“Kenapa kalian hendak
meninggalkan negeri ini? Apakah kerajaan tidak berlaku adil kepada kalian?”
Tanya pembantu raja dengan terkejut.
“Tidak Tuan, kerajaan
memperlakukan kami dengan baik dan adil,
namun kami tidak tahan dengan perbuatan putera sulung raja.”jawab mereka.
“Memangnya perbuatan apa yang
membuat kalian kesal?”tanya pembantu raja.
“Dia suka mengganggu dan menggoda
anak dan isteri kami Tuan. Kami berniat untuk keluar dari negeri ini dan
mengangkat orang lain untuk menjadi raja.
“Tunggu dulu,” potong pembantu
raja,”Biar saya bertemu raja dan membicarakannya, jika putera sulungnya tidak
berubah terselah kalian mau meninggalkan negeri ini.” Pintanya
Maka berangkatlah pembantu raja
mengahadap raja akan menyampaikankan keluhan rakyatnya.
“Apa maksud kedatanganmu?” Tanya
Maharaja Ali
“Sembah Baginda, saya ingin
melaporkan perilaku buruk putera sulung yang selalu mengganggu anak dan isteri
rakyat. Banyak di antara mereka ingin meninggalkan negeri ini karena tidak
tahan dengan perilakunya.”Lapor pembantu raja
“Benarkah itu?” Baginda terkejut.
“Benar Baginda,”jawab pembantu
raja
Maharaji Ali menggeleng-gelengkan
kepalanya kaget dan malu terhadap perbuatan anaknya. Setelah berpikir cukup
lama ia berkata kepada pembantunya.
“Jangan biarkan rakyatku
meninggalkan kerajaan ini. Biarlah aku yang meninggalkan kerajaan sebab
akhlaknya adalah tanggungjawabku. Engkau gantikan diriku menjadi raja.”
Perintah Maharaja Ali kepada pembantunya.
Segeralah raja berkemas-kemas
hendak meninggalkan kerajaan. Rakyat berbondong-bondong mengiringi kepergian
Maharaja Ali dengan rasa haru dan sedih. Mereka sebenarnya sangat mencintai
sang raja.
Setelah berhari-hari berjalan,
mereka bertemu dengan sekawanan perampok. Semua harta dan benda Maharaja Ali
dirampas. Maharaja Ali jatuh miskin seketika. Meskipun sudah tidak mempunyai
harta benda, mereka tetap meneruskan perjalanan ke arah yang tak tentu tujuan.
Di tengah perjalanan, Badarsyah perutnya merasa mulas, dia pergi ke pinggir
sungai melepaskan hajatnya. Maharaja Ali
tidak mengetahui hal itu, dia terus berjalan setelah jauh dia baru tersadar Badarsyah tidak ada.
"Mana Badarsyah?" tanyanya
"tadi dia buang hajat di sungai." jawab adiknya
"Kita istirahat di sini sambil nunggu Badarsyah." ujar Maharaja Ali
Setelah lama menunggu, Badarsyah belum muncul juga. "Apa yang harus kita lakukan isteriku?" Tanya Maharaja Ali pada isterinya
"Kita lanjutkan saja perjalanan pelan-pelan, pasti Badarsyah menyusul kita."Jawab isterinya
Berangkatlah mereka meneruskan perjalanan sambil sekali-kali menengok ke belakang berharap Badarsyah muncul.
Adapun Badarsyah setelah dia menunaikan hajatnya dia kembali ke jalan semula hendak menemui keluarganya. Namun mereka semua sudah tidak ada.
"Kemana orang tuaku?" Badarsyah kebingungan.
Dia pun mengikuti jalan yang ada berharap dapat bertemu dengan keluarganya. Ketika bertemu jalan yang bercabang, dia memilih jalan berbeda yang ditempuh keluarganya. Dia berjalan terus sehingga menemukan sebuah negeri.
Badarsyah menemukan banyak hal yang baru di negeri itu. Berharap orang tuanya ada di negeri itu, dia mencari-cari ke setiap pelosok negeri itu. Karena banyak hal yang menarik hatinya, lama-lama dia mulai betah tinggal di negeri itu.
Sedangkan Maharaja Ali terus berjalan sambil berharap Badarsyah dapat menyusulnya. Namun harapannya sia-sia.
"Sia-sia kita menunggu Badarsyah. Kita teruskan saja perjalanan. Semoga yang Maha Kuasa melindunginya."Kata Maharaja Ali.
Tibalah dia di sebuah negeri yang asing. Mereka berhenti berjalan dan melihat-lihat negeri tersebut. Mereka tercengang dengan keadaannya yang berbeda dengan negara dia yang telah ditinggalkannya. Kebetulan pula bekal mereka telah habis.
"Tinggallah di sini, aku akan mencari makanan. Siapa tahu penduduk negeri ini berbaik hati memberi kita makanan." Kata Maharaja Ali
"Daripada engkau yang pergi, lebih baik aku saja, bisa jadi ada orang yang mengenal engkau, suamiku."Jawab isterinya
"Benar juga." Maharaja Ali membenarkan.
Berangkatlah Puteri Hanin beserta kedua anaknya untuk meminta bekal kepada penduduk negeri itu. Kebetulan hari itu hari Jum'at.
"Kalian kalau minta sedekah datang saja ke masjid,"Kata salah seorang penduduk,"Semua sedekah kami telah kami serahkan ke sana. Pasti kalian akan dapat banyak."
Putri Hanin dan anaknya berangkat ke masjid mengikuti sarannya. Sesampainya di masjid, terlihat pembantu raja dan orang-orang keluar dari masjid sambil membawa berkarung-karung makanan. Putri Haninpun antri bersama para peminta-minta, demikian pula anaknya.
Pembantu raja membagi-bagikan makanan. Putri Hanin berjalan dan menerima sedekah, kedua anaknya pun mendapat jatah yang sama banyak.
Selama pembagian sedekah, keberadaan Putri Hanin tidak terlepas dari pandangan pembantu raja."Siapa wanita cantik ini?"pikirnya
Selesai pembagian sedekah, pembantu raja bertanya kepada bawahannya," Siapa wanita itu? aku belum pernah melihatnya. Cantik sekali wajahnya."
"Tidak tahu Tuan, mungkin orang kaya yang pura-pura miskin, kami juga baru melihatnya hari ini."Jawab bawahannya.
Kemudian pembantu raja pergi menghadap raja untuk melaporkan adanya wanita dan anaknya.
Bersambung Sangaji Ali 2 : Maharaja Ali terpisah dengan anaknya
Bersambung Sangaji Ali 2 : Maharaja Ali terpisah dengan anaknya
Saturday, 13 June 2015
Biografi Imam Syafi'i
Imam Syafi'i dilahirkan di kota Ghuzzah atau Gaza, wilayah Palestina pada hari Jum'at akhir bulan Rajab tahun 150 Hijriyah yang kebetulan bersamaan dengan tahun kelahiran Imam Ali ar Ridha, Imam kedelapan kaum syi'ah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi'i Al Hasyimi al Muthalibi. Beliau keturunan bani Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, kakek buyut Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wasallam.
Label:
Biografi,
Kisah Hikmah,
Kisah Islami
Friday, 12 June 2015
Cerita Rakyat : Akibat perilaku sahabat yang buruk (dalam Hikayat Kalilah dan Dimnah)
Sebaik apapun seorang pemimpin namun bila dikelilingi sahabat yang buruk, maka ia pun akan terbawa berbuat buruk. Istilah orang politik mah Ring Satu adalah penentu kebijakan. Nah, gambarannya bisa kita lihat dari kisah di bawah ini, di ambil dari Hikayat Kalilah dan Dimnah.
Alkisah, di suatu hutan yang dekat dengan jalan besar, tinggallah seekor raja singa dengan tiga teman kepercayaannya yaitu serigala, rubah dan gagak. Pada suatu hari, lewatlah rombongan pengembala unta menghalau untanya. Salah satu untanya terlepas dan masuk ke dalam hutan. Sampailah ia di tempat duduk raja singa berserulah singa kepadanya, "Hai, siapa kau, dan darimana kau datang?"
"Ampun Tuan, "jawab unta ketakutan, "Hamba tersesat, tercerai dari rombongan teman-teman hamba. dan sekarang tak dapat keluar lagi dari sini."
Mendengar jawaban unta yang menghiba, raja singa kasihan kepadanya.
"Janganlah engkau takut, "katanya , "tinggallah engkau bersama kami di sini menjadi sahabat kami."
Untupun suka cita mendengarnya dan diamlah dia disitu dengan sejahtera.
image:duniadongeng.wordpress.com |
Arkian pada suatu hari keluarlah raja singa berburu. ia bertemu dengan seekor gajah yang besar dan terjadilah perkelahian antara keduanya. Perkelahian pun berlangsung lama, dan tidak ada satupun yang kalah. Mereka berdua kelelahan dan sudah sama sama terluka. Maka larilah gajah ke dalam hutan dan singapun pulang ke tempatnya, jatuhlah ia tidak sadarkan diri. Maka sejak itu dia tidak bisa keluar berburu.
Makin hari badannya makin kurus, demikian pula para sahabatnya yang biasa ikut makan mengalami hal yang sama. Demi melihat sahabat-sahabatnya itu kurus, raja singa berkata, "Wahai sahabatku, nampak benar kalian kelaparan dan sangat ingin mendapatkan makanan."
"Janganlah tuan pikirkan kami," jawab ketiga binatang itu,"bagi kami keselamatan Tuanku lebih utama. oleh karena itu pilu hati kami melihat Tuanku makin lama makin bertambah kurus juga. Alangkah besarnya hati kami kalau dapat mencarikan makanan untuk Tuanku."
"Amat besar hatiku mendengar kesetiaanmu,"kata raja singa. "Sebab itu pergilah kamu ke hutan, mudah mudahan kalian dapat buruan yang bisa kita makan bersama-sama."
ketiga binatang itu pun keluarlah, tetapi mereka tidak berburu hanya berkumpul di suatu tempat untuk berunding.
"Apa faedahnya si pemakan rumput yang besar itu kita hidupi,"kata mereka serempak,"padahal dia tidak sebangsa dan tidak sepikiran dengan kita. Tidakkah lebih baik kita katakan kepada raja singa, supaya dibunuhnya saja unta itu, supaya kita pun dapat memakan dagingnya."
"Itulah yang sukar bagi kita mengatakannya kepada singa, kata rubah,"Karena dia telah berjanji akan melindungi jiwa unta itu."
"Hal itu serahkanlah kepadaku,"kata gagak, "biarlah aku mengatakannya kepada singa."Lalu ia pun masuklah menghadap.
"Apakah kamu mendapat sesuatu?" tanya singa melihat gagak datang.
"Ampun, Tuanku yang mungkin mendapatkannya hanyalah orang yang ada tenaganya, dan matanya dapat melihat pula. Adapun kami, karena lapar, tidaklah kami memiliki tenaga demikian pula mata kami tidak dapat melihat. Tetapi kami mempunyai suatu pendapat, yang menurut kami baik, semoga Tuanku dapat menyetujui."
"Apakah pendapatmu itu?" tanya raja singa
"Unta pemakan rumput itu Tuanku, yang sehari-hari makan minum tidak ada manfaatnya sama sekali bagi kita."
Raja singa murka mendengar perkataan gagak.
"Alangkah jahatnya kau gagak!" kata raja singa,"Alangkah kejamnya hatimu, tidak punya belas kasihan dan tidak setia. padahal telah kau ketahui, bahwa aku berjanji akan melindungi nyawanya. Tidakkah engkau tahu, bahwa tidak ada suatu sedekahpun yang lebih besar pahalanya daripada melindungi jiwa yang ketakutan dan memelihara darah yang akan tertumpah? Aku sudah berkata akan melindungi dan aku tidak akan mengingkari janji."
"Hamba mengerti maksud perkataan Tuanku itu,"kata gagak.
"Akan tetapi Tuanku harus maklum, bahwa diri yang satu menjadi penebus jiwa seisi rumah, dan seisi rumah penebus jiwa sekaum, jiwa sekaum penebus jiwa seluruh negeri jadi penebus bagi jiwa Tuanku. Sekarang jiwa Tuanku dalam bahaya. Hamba dapat pula mencarikan jalan supaya Tuanku jangan berdosa menyalahi janji, sehingga yang dimaksud tercapai dan Tuanku terlepas dari segala kesalahan."
Mendengar itu diamlah raja singa, tidak menjawab lagi. Maka gagakpun keluarlah pergi menemui teman-temannya.
"Sudah kusampaikan maksud kita kepada raja,"katanya.
"Mulanya raja menolak, tapi setelah kujelaskan lebih lanjut, raja pun diam. Marilah kita bersama-sama dengan unta itu ke hadapannya, lalu tiap tiap kita memperlihatkan kesedihan hati melihat keadaan raja, dan minta supaya untuk suka menerima jika dirinya dikurbankan untuk baginda. waktu teman kita berkata begitu, hendaklah yang lain mencela pendapatnya itu, sampai datang giliran unta berkata demikian pula. Dengan jalan begitu kita akan selamat semuanya, dan raja tidak pula akan marah kepada kita."
Setelah itu mereka pergi mengajak unta datang bersama sama ke hadapan raja singa, karena sakitnya bertambah keras juga. Sampai di hadapan raja singa, berkatalah gagak,"Ampun Tuanku, pada penglihatan hamba, Tuanku mengalami sakit yang semakin parah, karena Tuanku telah lama tidak beroleh makanan lagi. Sebagai hamba Tuanku yang hina, maka tiadalah yang lebih patut berkurban untuk keselamatan Tuanku hamba hidup, dan apabila Tuanku tiada lagi, maka hambapun binasalah, tak ada faedahnya hamba hidup. Oleh sebab itu hamba rela mengorbankan diri yang hina ini, bunuhlah hamba dan makanlah daging hamba Tuanku!"
"Diamlah kau!"kata serigala dan rubah serentak."Tak ada manfaatnya dagingmu bagi raja, tak akan mengenyangkan juga."
"Kalau begitu biarlah tuanku bunuh diri hamba ini saja,"Kata rubah. "Badan hamba lebih besar dan tentulah hamba dapat mengenyangkan Tuanku."
"Dagingmu busuk dan berbisa,"Kata serigala bersama dengan gagak,"dan berbahaya kalau dimakan."
"Tetapi hamba tiadalah seperti rubah itu,"kata serigala pula.
"Oleh sebab itu biarlah Tuanku memakan daging hamba saja."
"Kau pandai obat,"kata gagak dengan rubah,"barang siapa bermaksud hendak membunuh dirinya, hendaklah dia memakan daging serigala."
Mendengar semuanya, menyangkalah unta kalau ia menghadapkan dirinya untuk mengorbankan diri, maka teman-temannya akan mencarikan alasan penolakan pula untuk dirinya. Maka akan selamat dirinya dan raja tidak akan murka kepadanya. Ia pun berkata,"Tetapi Tuanku, pada diri hamba Tuanku akan memperoleh daging yang baik dan sedap lagi mengenyangkan. Oleh sebab itu biarlah Tuanku bunuh hamba, Tuanku makan daging hamba, hamba relakan sudah."
Belum habis perkataannya, berkatalah serigala, rubah dan gagak,"Benar perkataan unta itu, dan telah bermurah hati dia memberikan dirinya."Ketika itu juga melompatlah ketiga-tiganya, menerkam unta itu dan mengoyak ngoyak dagingnya.
Pelajaran yang dapat kita petik dari kisah di atas. Seorang pemimpin bisa saja dia baik, bertanggung jawab, bersih. Namun ketika di sekelilingnya orang culas, licik dan jahat, maka ia pun sulit lepas dari perbuatan perbuatan mereka. Dan bisa jadi, mereka yang disekelilingnya berbuat tanpa sepengetahuan pemimpinnya. Atau bisa jadi, mereka akan berkata,"Tuan, biarlah kami yang menyelesaikan permasalahan ini, Anda cukup katakan, saya tidak tahu, itu bukan urusan saya, tanyakan kepada pihak yang tahu." auuuuuu....hehe
Jadi, dalam memilih pemimpin jangan hanya terfokus pada diri pemimpin tersebut, lihat pula siapa orang-orang di sekelilingnya :D.
Sumber: Hikayat Kalilah dan Dimnah :Depdikbud
Kisah Hikmah : Puasa dapat menuntun kita ke jalan yang benar dan damai
Ketika Asy-Syibli berada dalam rombongan kafilah dari Syam, di tengah jalan rombongan itu dicegat oleh gerombolan perampok. Barang barang mereka dirampas dan kemudian diserahkan kepada kepala gerombolan perampok itu.
Dari kantung barang rampasan, salah seorang perampok menemukan gula kenari, mereka beramai ramai memakannya. Namun kepala perampok itu tak ikut makan.
"Mengapa tidak ikut makan gula kenari bersama anak buah Anda?" tanya Asy Syibli kepada kepala perampok itu
"Aku sedang berpuasa." jawab kepala perampok
"Anda melakukan pekerjaan yang merugikan orang lain, menjarah, merampok dan bila perlu membunuh untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan. Tapi sungguh aneh, sekarang Anda melakukan puasa, "kata Asy Syibli penuh keheranan.
"Kami ingin mencari kedamaian, "jawab kepala perampok itu.
"Tapi seharusnya Anda tidak melakukan pekerjaan yang kurang terpuji ini."
"Entahlah, mudah-mudahan nanti aku akan meninggalkan pekerjaan ini, "kata kepala perampok itu seraya mengajak anak buahnya untuk meninggalkan tempat itu.
Beberapa tahun kemudian, ketika Asy Syibli tengah menunaikan haji, ia melihat kepala perampok yang dulu pernah merampas baranya tengah mengenakan pakaian ihram dan duduk di dekat ka'bah. Asy Syibli kemudian menghampirinya.
"Apakah Anda adalah orang yang pernah kujumpai beberapa tahun yang lalu?" tanya Asy Syibli dengan ragu.
"Benarkah? tapi aku lupa, entah dimana Anda pernah bertemu dengan diriku?" jawab kepala perampok itu sambil mengamati orang yang berdiri di hadapannya.
"Maaf bukankah Anda yang dulu pernah menjadi pimpinann gerombolan perampok itu?"
"Oh! Aku baru ingat sekarang. Benar, aku bersama anak buahku yang dulu pernah merampas barang-barang Anda. Dan puasa yang selalu kulakukan itu telah menuntun dan menarik diriku ke jalan yang benar dan damai ini."
sumber : MB Rahimsyah, Jakarta : Pustaka Indonesia
sumber : MB Rahimsyah, Jakarta : Pustaka Indonesia
Label:
Kisah Hikmah,
Kisah Islami
Siti Bidasari di pungut saudagar kaya (Syair Bidasari bag 4)
seroang saudagar dengan kekayaan
limpah harta dengan kemulyaan
sentiasa dengan kesukaan
Di dalam negeri Inderapura
kayanya tidak lagi berdua
hamba dan sahaya muda dan tua
berbagai jenis Keling dan Jawa
Empat orang isterinya ada
berpuluh gundik anom dan muda
terlalu muskil di dalam dada
seorang putera seorangpun tiada
Dengan kodrat seribu ilahi
kepada siang pagi pagi hari
turunlah saudagar laki isteri
ke tepi sungai keduanya berdiri
Didengar saudagar Lela Jauhari
Budak menangis bunyi suara
merdu seperti bangsi segara
di dalam perahu tengah negara
Setelah nyata suaranya bakahari
dua laki isteri pergi mencahari
dipandang ke kanan toleh ke kiri
masuk perahu dua laki isteri
Dilihatnya ada budak seorang
parasnya elok gilang gemilang
saudagar pun suka bukan kepalang
seperti mendapat bulan mengambang
Saudagar berkata laki isteri
anak siapa gerangan ini
orang yang mulya datang kesini
maka selaku sedandan begini
Sukacita bukan kepalang
tidaklah lepas mata memandang
gemar dan kasih tidak timbang
disambut lalu dibawa pulang
Terlalu suka berloh anakanda
dihimunkan sahayua tua dan muda
empat orang dijadikan inangda
dualapan orang dijadikan kanda
Anakanda diletakan di atas geta
di dalam kerikal tatah permata
inang pengasuh sempurna tahta
dipasangkan kandil dian pelita
Hati saudagar laki isteri
kasihnya seperti anak sendiri
parasnya seperti bidadari
dinamakan Siti Bidasari
Dibuatnya pula seekor ikan
diiambilnya semangat ditaruhkan
dicembul emas direndamkan
di dalam peti dimasukkan
Diperbuatnya pula sebuah taman
pelbagai jenis tanam tanaman
bersambutan balai dengan halaman
jambangan beratruan terlalu iman
Diikatnya batu pancalogam
diselangnya dengan pusparagam
pasir permata tabungnya nilam
peti ditaruh di dalam kolam
Makan minum tidak berhetni
bermain wayang joget surati
keempat isterinya bersuka hati
sekaliannya membela anakanda Siti
Beberapa banyak pakaian ditempa
dokoh paduka berbagai rupa
beratus jenis tidak serupa
tajuk dan sunting bergerak gempa
Daripada sehari kepada sehari
dipeliharakan saudagar laki isteri
cerdiklah Siti Bidasari
parasnya elok tidak terperi
Berpatutan dengan subang dan gelang
tidaklah jemu mata memandang
putih kuning wajah gemilang
panjang nipis lehernya jenjang
Cantik manis tidak bertara
parasnya seperti bidadari Indera
laki isteri saudagar memelihara
sedikit tidak diberi cedera
Penuh pakaian tidak terbawa
seperti puteri di benua Jawa
di dalam negera Inderapura
tidaklah ada bandingnya dua
terhentilah perkataan Bidasari
anak Raja Kembayat di sebuah negeri
didapat saudagar Laela Jauhari
dipeliharakan dua laki isteri
Lanjut ke Syair Bidasari 5: Negeri Inderapura
Thursday, 11 June 2015
Kisah Hikmah : Tips menghadapi isteri yang cerewet
Merasa kesal diomelin isteri? :D, Banyak suami yang kesal diperlakukan seperti anak-anak oleh isterinya. Diomelin melulu, katanya; diceramahin, seperti di iklan obat batuk. Omelan seorang isteri tidak hanya terjadi di kalangan rakyat biasa loh...Mungkin Pak Presiden pernah diomelin isterinya. para menteri atau pejabat lainnya. Nah, jika pembaca juga mengalami hal yang sama, ada baiknya kita baca kisah Umar bin Khattab berikut ini.
http://sadikemonikafitriani.blogspot.com/ |
Orang ini sempat berpikir, "Umar bin Khattab aja seorang amirul mukminin diomelin isterinya, apalagi saya, balik aja deh."
Segera dia keluar dari halaman rumah Umar bin Khattab, namun belum sempat keluar, Umar bin Khattab keburu melihatnya lalu dipanggilnya, "hai, ada perlu apa datang kemari?"
Orang itu menjawab, "Ya Amirul mukminin, tadinya saya ingin mengadukan kelakuan isteri saya. Dia selalu ngomelin saya, tapi saya lihat engkau pun diomelin isteri. Jadi saya pikir, Umar bin Khattab sebagai amirul mukminin diomelin isterinya, apalagi diri saya ini. Jadi saya pulang lagi."
Umar bin Khattab tersenyum, lalu berkata, "Sesungguhnya aku telah membebani isteriku dengan kewajibanku. Dia mencuci pakaian untukku, memasak makanan untukku, menyusui anakku, dan memberi kenikmatan yang membuat aku tidak berbuat haram. Oleh karena itu aku tabah dan sabar dalam menghadapinya."
Maka orang itupun menjawab, "Demikian pula isteriku, wahai amirul mukminin.
Lalu Umar bin Khattab berkata, "Sabarlah engkau menghadapinya, lagian hanya sebentar kok."
Ada lagi sebuah kisah tentang suami yang tabah menghadapi isteri yang aduhai...!!!
Alkisah ada dua orang sahabat yang lama tak jumpa. Salah satu di antaranya berniat menengoknya karena sudah kangen. Dia dapat kabar bahwa temannya itu tinggal di suatu desa yang dekat dengan hutan. Saat tiba di depan rumahnya, dia mengucapkan salam. Seorang wanita menjawab salamnya, tapi tidak keluar, hanya nengok dari jendela. Lalu bertanya, "Ada perlu apa?"
Sahabat suaminya menjawab, "Saya mau bertemu si Fulan, dia sahabat lama saya, hanya ingin silaturrahmi."
Si Isteri menjawab, "Dia masih nyari kayu bakar, Dia memang begitu orangnya bla bla bal, "ujarnya tanpa henti mencela suaminya.
Duduklah sahabat suaminya di luar sambil menunggu kedatangan sahabatnnya. Tak lama kemudian, muncullah sahabatnya dari arah hutan membawa kayu bakar. Namun yang membuat takjub, bukan dirinya yang membawa kayu bakar, namun seekor harimau.
Setelah sampai, mereka berdua ngobrol. Setelah selesai, sahabatnya pulang.
Beberapa tahun kemudian, sahabat tersebut ingin mengunjungi kembali sahabatnya. Sesampai di rumahnya dia mengucapkan salam. Dia heran karena yang menjawab salamnya wanita yang berbeda dengan orang yang menjawab dahulu. Wanita ini mengatakan dengan ramah bahwa suaminya sedang bekerja di hutan,
Lama berselang, muncullah sahabatnya dari hutan dengan membawa kayu bakar dengan kelelahan, dia menanggungnya sendiri. Sahabatnya keheranan, tidak seperti tahun lalu yang membawa kayu bakarnya adalah harimau. Setelah bertemu dan bercakap-cakap, bertanyalah sahabatnya, "wahai sahabatku, dulu waktu aku kemari, aku melihat keajaiban saat kamu dibawakan kayu bakar oleh harimau. Tapi sekarang kok kamu sendiri yang bawa, gimana ceritanya?"
Sahabatnya menjawab, "Dulu aku punya seorang isteri yang akhlaknya kurang baik, seperti yang kau lihat dan aku bersabar karenanya. Maka Allah menundukan binatang buas karena kesabaranku. Selang beberapa tahun, isteriku meninggal dunia. AKu menikah lagi dengan seorang wanita yang sholeh, yang kau pasti sudah ketemu dengannya. Maka Allah menarik karamahnya bagiku karena keshalehan isteriku,".
Nah sahabat-sahabat semua, dapat ditarik kesimpulan, Kesalehan seorang isteri adalah karamah yang sangat besar bagi kita semua....jadi tabahlah saat menghadapi isteri yang suka ngomel, dan bersyukurlah saat mendapatkan isteri yang shalehah.
Label:
Kisah Hikmah,
Kisah Islami
Legenda Rakyat : Kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso (Asal Mula Candi Prambanan)
Roro Jonggrang |
Alkisah, ada Sebuah kerajaan Pengging yang dipimpin oleh seorang raja yang sakti mandaraguna. Dia mempunyai seorang anak yang gagah perkasa melebihi keperkasaan ayahnya yang bernama Joko Bandung. Joko Bandung sangat gemar berguru kepada para pertapa sakti. tidak heran kedigjayaannya melebihi ayahnya.
Kerajaan Pengging selalu berperang dengan kerajaan Prambanan yang dipimpin oleh Raja Boko. Raja ini berperawakan besar sehingga sering dianggap sebagai keturunan raksasa. Dia memiliki seorang puteri yang cantik jelita bernama Roro Jonggrang
Dalam sebuah pepeperangan, Kerajaan Pengging dapat dikalahkan oleh kerajaan Prambanan. tentaranya banyak yang tewas. mendengar kekalahannya ayahnya, Joko Bandung berangkat ke peperangan hendak membantu ayahnya. Dalam perjalanan, dia masuk ke dalam hutan yang dihuni oleh seorang raksasa bernama Bandawasa. Mereka berdua berkelahi dengan sengitnya hingga Bandawasa hampir mati. Sebelum mati, Bandawasa masuk ke dalam diri Joko Bandung. dan dia berpesan kepada Joko Bandung agar namanya disatukan dengan nama Joko Bandung menjadi Joko Bandung Bandawasa. Joko Bandung pergi ke peperangan dan bertarung dengan dengan seru sampai berhari hari. Akhirnya Joko dapat mengalahkan raja Boko dan membunuhnya.
Legenda Rakyat : Asal Usul Kota Cianjur
Kota Cianjur |
Si Kikir punya seorang anak. Beda dengan bapaknya, si anak ini berwatak baik dan dermawan. Dia suka membantu penduduk desa dengan sembunyi sembunyi.
Suatu hari, si Kikir mau ngadain acara syukuran. Dia mengundang para penduduk desa. Menurut anggapan mereka, kalau ngadain syukuran pasti besar-besaran, jamuannya banyak beraneka ragam makanan, maklum orang kaya. Dasar orang kikir, ternyata si Kikir hanya nyiapin makanan yang sederhana aja, jumlahnya cuma sedikit. Banyak warga desa yang ga kebagian makanan. mereka hanya mengelus dada melihat kelakukan si Kikir yang benar-benar kikir.
Sunday, 7 June 2015
Dewi Rengganis ocon sareng Raden suwangsa, (Kisah Dewi Rengganis bag.6)
Dangdanggula (i-a-e-u-i-a-u-a-i-a)
Lajeng gugah bae Raden Mantri,
tina bangku pangkulemanana, sarta hulang huleng bae, bari ningal ka luhur,
ningalian Dewi Rengganis, duh enung gusti engkang, kuma peta nyusul, henteu
bisa ngawang-ngawang, kaniaya Rengganis ka diri kami, wet wani-wani nilar.
Kacaturkeun polah Raden Mantri
samar rasa teu puguh polahna, cara hayam arek ngendog, manahna kalangkung
liwung cara jalma keun piranti, tegesna ku wisaya, cara nu kaduyung, tina
sanget kaedanan, nu kacipta ngan Rengganis buah ati, raos teu pisah-pisah.
Kitu deu Nyai Rengganis henteu
lali kana perjangjian, serja ngajugjug ka kebon ti gunungna geus ngapung
ngawang-ngawang bareng jeung angin. Wangina geus tiheula ngajugjug pangambung
Raden Iman Suwangsa; langkung kaget ningal kanan miwah keri, mesem Kusumah
Rara., ningal tata polah Raden Mantri. Nyi Rengganis enggeus ngambah lemah,
gandrung-gandrung angkat alon, lucu anu lumaku istu titih Retna Rengganis mun
manggih jeung seuseukeutan nyimpang rada jauh, temahna bisi kacugak, kasarimped
ngabeulit raheut ku hinis, Rengganis wiwahana.
Narpatmaja geus hoyong panggih,
Nyi Rengganis henteu katangilan kahalangan ku kakayon, handapeun nagasantun
rada nyumput Retna Rengganis. Ngan wangina nyambuang jero taman santun.
Suwangsa wuwuh kaedanan, pok ngalahir, “Nya dimana Nyi Rengganis, henteu gera
katingal?” Mesem leleb Nyi Retna Rengganis, ngarungukeun saur Narpatmaja,
sasauran semu banyol , “Dimana si dadahut nu sok ngundeur di Tamansari, siga
naon rupana, mana matak giung tayohna geulis rupana, ngan hanjakal salingkuh
kacida teuing, bohong naon pedahna. Salingkuh teu nembongkeun diri.” Ku
suwangsa haben di teangan, henteu lila geus katembong, bungah manahna
kalangkung, Narpatmaja barang gok panggih, lir budak susumputan, neangan
katimu, gumujeng langkung suka, kitu deui Kusumah Rara Rengganis, teu beda
jeung Suwangsa.
Enggeus sami ngadukeun tingali,
Nyi Rengganis lucu lelewana, serewel jeg nangtang toel. Raden Suwangsa maju
pura-pura henteu ningali ka Nyimas
Argapura, Rengganis geus maphum, sarta Rengganis geus yatna, Narpatmaja
bari maju mesem manis ngarah dek newak tangan. Ganjang ngejat Nyi Retna
Rengganis. Teu katewak,
Saur Narpatmaja ,”heum naha Enung
sok ogo, dideukeutan sok undur, matak naon mun jongjong cicing, calik mangka
jatnika, montong dek timburu, salempang ku engkang, da engkah mah henteu pisan
goreng pikir, maksud nu saenyana. Enggeus jamak mungguhing di jalmi mun
papanggih jeung dulur geus lila, pasti kudu ruket bae, jamak sono jeung dulur,
lamun make tataning santri seug tuluy sasalaman. Sunat geus mashur, hayu urang
sasalaman, da engkang mah henteu boga dua pikir, taya pikir rangkepan.”
Pok ngawalon Nyi Ratna Rengganis,
“Anu matak sungkan deukeut pisan adat ajengan sok ocon. Pasemon ngan dek nubruk
kawas lain tedak bupati, ngan endek tuwak tewak. Kuring mah panuhun jadi
ngaleungitkeun tata, lamun cara sareng saderek sayakti, mun geus pada gede mah.
Awad awad henteu dua pikir, ngadeukeutan ngajak sasalaman, ku kuring dikinten
bae, ajengan dek murugul. Lamun kuring teu geuwat nyingkir, dicandak sasalaman,
rasa kuring tangtu moal lesot ku sakedap. Hantem bae tujuh poe tujuh peuting
moal lesot panangan. Pasti haram mungguhin di santri, lamun linggih deukeut
rerendengan lalaki sareng awewe, nya kudu rada jauh kira pantes mun ditingali,
kudu heuleut satumbak, sedengna kitu meureun katingalna, jadi pantes teu
kasebat hina teuing.” Raden kawon bicara.
Bari imut Rengganis pok deui, “jisim
kuring jengkel ku ajengan, jauh-jauh keneh oge, ngan dek ngadu pangambung,
ngadu tarang jeung jisim kuring, naon kersa ajengan, anu matak kitu? Jisim kuring
mah teu werat, lamun acan akad nikah ka masigit, sungkan dicaluntangan.”
Narpatmaja pok ngalahir deui, “Eneng
Ratna, engkang henteu terang kana omongan Nyai teh, wantuning rada jauh,
reujeung kapalidkeun ku angin. Cing sing deukeut meueusan, supaya karungu,
tetela nu bicara ku manehna supaya kami mangarti, coba sing deukeut pisan. Reujung
deui maneh teh Rengganis, poma ulah arek salah tampa, engkang geus rada torek
nu matak nyai kudu mun ngomong tompokeun sakali kana ceuli sing nyata.”
Rengganis ngawangsul, “ Palias
teuing juragan kirang rungu.”
Gumujeng Raden Mantri akalna taya
nu mental. Kacaturkeun geus satata linggih. Nyi Rengganis reujeung Narpatmaja
duaan enggeus ngarendeng. Raden Suwangsa nyaur, “Saperkara cacadna Nyai kurang
rumaket pisan. Boro ngangken dulur masih keneh asa-asa. Cek engkang mah Nyai
kaapikan teuing, leuwih tina meujeuhna. Diri engkang ayeuna ku Nyai geus diangken
dulur kapiraka, tapi tacan ngeunah keneh najan sapuluh ngaku ngaku dulur da teu
sabibit reujeung henteu sabapa. Teges dulur
pulung, tatapi ulah kapalang, lamun rempug reujeung lelembutan Nyai, anggur
geura rimbitan. Lamun Nyai rek boga salaki, kudu milih ka jalma nu utama, nu
asal turunan hade, sukur mun sakaruhun, tungggal buyut nini jeung aki, tegesna
ka baraya supayana runtut, nu matak kudu sabangsa, nu pambrih sakahayang,
sabagja sacilaka. Reujeung ka nu netenpan agami, nya carogean ka nu rapekan,
tegesna rea kanyaho, ambih meunang pituduh lahir batin marga salaki, ka salira
enung ulah nyorang paribasa, carogean pipilih nyiar nu leuwih, koceplak ka nu
naktak.”
“Ari indit kudu reujung arit,
tugur tundan nanggung bebekelan, lengoh di titah ngagotong, ngan ulah ka nu
kitu, temah matak sangsara diri, mana
kudu ihtiar, samemeh dipaju, tegesna di timbang timbang, ku pamilih ulah sok
nyebut geus takdir memeh beak ihtiar. Upamana mungguh awak Nyai, carogean lain
ka sasama, tangtu jadi omong bae, diomongkeun ku batur, jadi taya beunangna
geulis, pantes mungguh enung mah meunang putra ratu, nu masih keneh jajaka. Coba
pikir papatah engkang ku Nyai lebah mana salahna?. Sukur lamun ka Banjaransari,
Eneng lanjang engkang masih bujang, lamun pareng jadi jodo, asa moal teu lulus,
laluasa salami lami. Sarta hade repokna, padaringan pinuh, ku engkang geus
diteang, repokna urang dina parimbon pal Nabi, watekna sugih dunya. Bakal rea
putra rea putri , rea pare keur baris maraban, rea uang reu uwong, jeung teu
suwung lumbung, lamun saban taun sasabin. Coba enung pikiran, henteu pantes
embung, ka nu boga kebon kembang.”
Pok ngawalon Rengganis, kelepna
manis, “Tacan niat rimbitan, saur anjeun jadi cara arit, henteu lempeng
nyengkrong ka sorangan, ngeupeul ngahuapan maneh.”
Raden Suwangsa nyaur, “Bener
pisan omongan nyai, anu matak makaya, hayang seubeuh nyatu, reujeung deui seja
engkang, sugan pareng seja ngahuapan Nyai anut ka engkang.”
Nyi Rengganis wastuning surti, geus rumasa katempas bicara, isin alangah elengeh, tungkul barina imut, sarta muji di jero ati, ieu jalma berakal, rada bisa padu, kinca asin ditahangan, petis cina wantu manah menak lantip, bisa malikkeun kecap.
Narpatmaja pok ngalahir deui, “Anu
sanget diteda ku engkang, ngan dapon disandig bae.”
Nyi Rengganis ngawangsul, “Lamun
estu hoyong disanding, ku sim kuring sumangga, tapi ulah ganggu, sareng anjeun
sumpah.”
Henteu lami Raden Suwangsa
ngalahir, “Mun engkang ngagangguan, mugi engkang cabok ucing gering, ka nu bala
disetakan kadal, diseureudan ku cocopet, disamberan kukupu!”
Nyaur deui Retna Rengganis, “Sumangga
ulah cidra, sing sami saestu, poma ulah ngaheureuyan!” Geus nyampeurkeun
Kusumah Rara Rengganis geus ngarendeng calikna.
Narpatmaja misil lauk cai,
kasaatan tuluy kacaian, si lauk teh tangtu atoh, Narpatmaja nya kitu,
sakalangkung manahna tiis, jeung henteu petot ningal ka Sang Ratna Ayu.
Rengganis geus rerendengan jeung Suwangsa lir gambar anyar ditulis, semuna
wuwuh endah. Narpatmaja sangsaya dumeling, rerendengan jeung Retna Juwita, tegesna teh wuwuh kasep, lelembutan geus
kumpul, pangacian geus tetep deui, raga gede tanaga, ku sabab digugu,
dituturkeun kahoyongna kur Rengganis digendeng disanding sanding, sirna galih
nu panas.
Narpatmaja jero manah sabil, ari
ningal ka Retna Juwita, mehmehan bae kasupen, sok ras inggis kaduhung, lajeng
Raden Suwangsa muji, rea maos istigpar, tapi keukeuh giung, geus teu puguh
rarasaan, nanging isin ku nu ngawujudkeun diri, tatapina bisbisan.
Narpatmaja ngawujukan manis, “Eh
Sang Retna cik engkang ningalan, eta cingcin nu dianggo!”
Lajeng Ali dicabut, dialungkeun
ka Raden Mantri, lajeng ditingalian permatana jamrut.
Ngalahir Raden Suwangsa, “Coba
Nyai ku engkang terapkeun dieu kana ramo maneh!”
Geus peryatna Nyi Retna
Rengganis. Barang gek endek dicandak ramona, tina enggon emok ngeser, imut
barina nyaur. Lajeng ngapung deui Rengganis. Raden kantun nyalira, rubuh henteu
emut, ebog ngagoler di latar. Anu ngapung rundag randeg, alak ilik, melang ka
nu ditilar.
Malik deui Nyi Retna Rengganis
rada handap geus beuki ngungkulan Dewi rengganis ka Raden. Tuluy diceluk celuk
nu ngagoler nu keur teu eling di hantem digentraan. Weleh teu ngawangsul
Rahaden Iman Suwangsa, sapertinu hilang teu pisan eling tina sanget kantaka.
Langkung welas Nyi Retna
Rengganis ningal raka geus kitu petana, micara di jero hate. Sugan mah enya
pupus, dicalukan henteu ngalahir, ieu teh pupus enya, atawa si palsu. Rengganis
geus ngambah lemah, Narpatmaja geuwat diboro sakali ku Nyi Argapura. Digugahkeun
hentu daek lilir, narpatmaja jongjong kapidara. Rengganis manahna kaget. Kusumah
Rara matur, “Gera gugah juragan kuring, kuring teh ieu dongkap, henteu tulus
wangsul, juragan gera pariksa, jisim kuring naha teu cara sasari henteu enggal
mariksa. Naha enya engkat teh geus mulih kana ajal? Mun upama enya engkang
pupus kuring maot, seja tumut sakubur jisim kuring teu werat kari, taya nu
dibelaan najan panjang umur, lamun engkang pupus enya, tapi ieu salirana mah
walagri cara jalma nu waras.
Tuluy matur Nyi Dewi Rengganis,"Jisim kuring sumeja pamitan, ayeuna dek wangsul wae, jeung sungkan tunggu-tunggu, ngantos waras nu gering, kudu satengah bulan, anggur bade wangsul, kesel ngantos-ngantos damang, lawas teuing meureun pirang-pirang wengi."
Lahiran Raden Narpatmaja, "Banyol bae montong kerah kerih, ayeuna ge engkang teh geus damang, ngan ulah ditinggal bae," Raden Banjarsantun enggeus linggih sareng Rengganis, matur pokna teh, "Jamak banyol da jeung dulur, jeung sim kuring resep nganjang, ka gamparan, ngan keuheul sok ocon teuing, dek ngalubarkeun tata. Sae oge papahare linggih, pertandana ajengan ogoan hoyong deudeukeutan bae, panangan tara nganggur, mindeng pisan muntangan kuring, naon anu diarah, jeung udeng dikandung, gumati dek newak tangan, jadi naha mun kuring teu geuwat nyingkir, tangtu katitiwasan.
Nyi Rengganis estuing berbudi, hade basa sing sarua bisa, bisa ngalap-ngalap hate, tuhu matak kayungyun, wantu wantu paranakan jin, dina mangsa harita, samemehna wangsul ninggalkeun heula kawaas, tetembangan basa Jawa Sunda sindir kinanti opat pada
KINANTI
Sim kuring amit dek ngidung
diajar lagu kinanti
minangka jadi landongna,
ka nu kapidara tadi
nyuhunkeun widi gamparan,
manawi temah baribin
Rao kagunturan madu
kaurugan menyan putih
dibanding ku putra raja
henteu werat males asih
reremkan panjang putra
kasepna kantun dumeling
Nu teu maparinkeun mundur
nu kagungan taman sari
sarta someah ka semah
hanjakalna saperkawis
awad awad kapidara
pambrih dipeuseul ku kuring
Kumaha rasa mun tulus
mun pareng jeug titis tulis
ngawulaan putra raja
sarta jadi eusi bumi
daun pulus di lulunan
kaso handapeun kaliki
DANGDANGGULA
Narpatmaja ngarungu kinanti, langkun regep pisan tina wawangslan, kana kalbu lebet kabeh, datang ka ngarumpuyuk, jeung miwarang Enung pek deui, Kinanti opat pada, engkang gantung rungu, bari engkang dek diajar, lagu tembang kinanti nu cara tadi, Enung nu mapatahan
Nyi Rengganis henteu tembang deui, lajeng bae harita pamitan, ngan nyuhunkeun widi bae, sim kuring seja wangsul, lima poe jangsi sim kuring, tinangtu deui datang, Narpatmaja nyaur, semuna alum kacida, sare bae sapeuting di deiu Nyai, Rengganis inditna maksa
Enggeus ngapung Nyi Retna Rengganis, ngawang ngawang henteu katingalan, geus mulang ka gunung gede, kacaturkeun nu dikantun, Narpatmaja kalangkung brangti, ti beurang tara tuang, ngahiul ngajentul, mun sore taya sarena, nu kacipta kajaba ti salianing, Kusumah Argapura
Geus makuwon di jero tamansari, Narpatmaja dina kebon kembang, kumambang bae cipanon, parekan para babu sami ngadep ka Raden Mantri, geus kumpul di payunan, sami heran kalbu, ningal panata juragan, jadi beda tinda adatna sasari, kawas jalma kasambang
Susur sasar sarta kumbang keumbing, kembang kembang ditingalan, Rengganus anu katembong, sida gek umbang ambung, sareng sering sok ngahariring, panyana para embang Raden owah kalbu, ku bawaning kaleleban, para emban henteu ningal ka Rengganis, anging Iman Suwangsa
Kacaturkeun Raden engeus lami, malah enggeus jangkep dua bulan, nyobatna jeung Rengganis teh, henteu kersaeun wangsul, narpatmaja di tamansari, lir kenging ku wisaya, kalebon parabun, engeus tara ngadeuheusan, ka kangrama jangkep dua bulan lali, mungkur henteu paseban.
bersambung Legenda Dewi Rengganis 7 : Bagenda Amir Hamzah
Tuluy matur Nyi Dewi Rengganis,"Jisim kuring sumeja pamitan, ayeuna dek wangsul wae, jeung sungkan tunggu-tunggu, ngantos waras nu gering, kudu satengah bulan, anggur bade wangsul, kesel ngantos-ngantos damang, lawas teuing meureun pirang-pirang wengi."
Lahiran Raden Narpatmaja, "Banyol bae montong kerah kerih, ayeuna ge engkang teh geus damang, ngan ulah ditinggal bae," Raden Banjarsantun enggeus linggih sareng Rengganis, matur pokna teh, "Jamak banyol da jeung dulur, jeung sim kuring resep nganjang, ka gamparan, ngan keuheul sok ocon teuing, dek ngalubarkeun tata. Sae oge papahare linggih, pertandana ajengan ogoan hoyong deudeukeutan bae, panangan tara nganggur, mindeng pisan muntangan kuring, naon anu diarah, jeung udeng dikandung, gumati dek newak tangan, jadi naha mun kuring teu geuwat nyingkir, tangtu katitiwasan.
Nyi Rengganis estuing berbudi, hade basa sing sarua bisa, bisa ngalap-ngalap hate, tuhu matak kayungyun, wantu wantu paranakan jin, dina mangsa harita, samemehna wangsul ninggalkeun heula kawaas, tetembangan basa Jawa Sunda sindir kinanti opat pada
KINANTI
Sim kuring amit dek ngidung
diajar lagu kinanti
minangka jadi landongna,
ka nu kapidara tadi
nyuhunkeun widi gamparan,
manawi temah baribin
Rao kagunturan madu
kaurugan menyan putih
dibanding ku putra raja
henteu werat males asih
reremkan panjang putra
kasepna kantun dumeling
Nu teu maparinkeun mundur
nu kagungan taman sari
sarta someah ka semah
hanjakalna saperkawis
awad awad kapidara
pambrih dipeuseul ku kuring
Kumaha rasa mun tulus
mun pareng jeug titis tulis
ngawulaan putra raja
sarta jadi eusi bumi
daun pulus di lulunan
kaso handapeun kaliki
DANGDANGGULA
Narpatmaja ngarungu kinanti, langkun regep pisan tina wawangslan, kana kalbu lebet kabeh, datang ka ngarumpuyuk, jeung miwarang Enung pek deui, Kinanti opat pada, engkang gantung rungu, bari engkang dek diajar, lagu tembang kinanti nu cara tadi, Enung nu mapatahan
Nyi Rengganis henteu tembang deui, lajeng bae harita pamitan, ngan nyuhunkeun widi bae, sim kuring seja wangsul, lima poe jangsi sim kuring, tinangtu deui datang, Narpatmaja nyaur, semuna alum kacida, sare bae sapeuting di deiu Nyai, Rengganis inditna maksa
Enggeus ngapung Nyi Retna Rengganis, ngawang ngawang henteu katingalan, geus mulang ka gunung gede, kacaturkeun nu dikantun, Narpatmaja kalangkung brangti, ti beurang tara tuang, ngahiul ngajentul, mun sore taya sarena, nu kacipta kajaba ti salianing, Kusumah Argapura
Geus makuwon di jero tamansari, Narpatmaja dina kebon kembang, kumambang bae cipanon, parekan para babu sami ngadep ka Raden Mantri, geus kumpul di payunan, sami heran kalbu, ningal panata juragan, jadi beda tinda adatna sasari, kawas jalma kasambang
Susur sasar sarta kumbang keumbing, kembang kembang ditingalan, Rengganus anu katembong, sida gek umbang ambung, sareng sering sok ngahariring, panyana para embang Raden owah kalbu, ku bawaning kaleleban, para emban henteu ningal ka Rengganis, anging Iman Suwangsa
Kacaturkeun Raden engeus lami, malah enggeus jangkep dua bulan, nyobatna jeung Rengganis teh, henteu kersaeun wangsul, narpatmaja di tamansari, lir kenging ku wisaya, kalebon parabun, engeus tara ngadeuheusan, ka kangrama jangkep dua bulan lali, mungkur henteu paseban.
bersambung Legenda Dewi Rengganis 7 : Bagenda Amir Hamzah
Saturday, 6 June 2015
Beauty and The Beast
Suatu masa, seorang pedagang berangkat ke pasar. Sebelum berangkat, ia bertanya kepada ketiga putrinya hadiah apa yang diinginkan mereka. Puteri pertama menginginkan daun brokat, puteri yang kedua meminta kalung mutiara, tetapi puteri yang ketiga yang bernama Beauty puteri yang termuda dan paling cantik di antara mereka berkata kepada ayahnya, “Aku hanya ingin dibawakan bunga mawar yang ayah bawakan khusus buatku.”
Ketika pedagang itu selesai berbisnis, ia pulang ke rumah. Namun tiba-tiba badai menerjang, dan kudanya tidak bisa bergerak dengan cepat. Dalam keadaan dingin dan lelah, pedagang sudah kehilangan harapan dapat menemukan penginapan. Tiba-tiba dia melihat cahaya dari sela-sela pepohonan. Segera dia mendekat. Dia menemukan pintu yang terbuka. Meskipun sudah berteriak berulang-ulang namun tidak ada jawaban. Dengan memberanikan diri dia berjalan-jalan berkeliling. Dia menemukan makananan di meja yang sudah tersajikan. Sebentar sebentar pedagang berteriak memanggil pemilik kastil, namun tetap tidak ada jawaban. Karena kelaparan dia memakan makanan yang tersedia di meja, terasa masih hangat.
Label:
Beauty and the Beast,
Dongeng Dunia
Pengaruh sebuah kisah dan dongeng terhadap perilaku anak-anak maupun dewasa
Saat mengajar kadang-kadang saya selingi dengan sebuah kisah atau dongeng. Anak anak biasanya sangat senang kalau belajar diselingi dengan dongeng, mereka terlihat lebih menikmati mendengarkan sebuah kisah atau dongeng dibanding mendengarkan pelajaran, kebetulan pelajarannya matematika :D .
Saya sih ngambil hipotesis bukan cara mendongengnya yang bagus tapi mungkin mereka menghindar dari belajar matematika yang ngejelimet, hehe. Tapi ada baiknya juga, setidaknya mereka mau mendengarkan, jadi kita bisa memasukkan nilai nilai moral disitu.
Saya sih ngambil hipotesis bukan cara mendongengnya yang bagus tapi mungkin mereka menghindar dari belajar matematika yang ngejelimet, hehe. Tapi ada baiknya juga, setidaknya mereka mau mendengarkan, jadi kita bisa memasukkan nilai nilai moral disitu.
Hampir setiap hari saya mendongeng untuk anak-anak, baik itu cerita yang singkat maupun panjang. bahkan saya pernah menceritakan kisah bersambung di kelas matematika. Bukan hanya di kelas, kebiasaan bercerita saya juga diterapkan di TK maupun majelis taklim, baik remaja, ibu-ibu maupun bapak-bapak.
Label:
Beauty and the Beast,
Dongeng,
Pendongeng,
Si Kancil,
Timun Mas
Friday, 5 June 2015
Dewi Bidasari Di Buang Ayahnya, Raja Kembayat (Syair Bidasari bag 3)
disambut anakanda disusui
kasih dan sayang tidak terperi
Puteri nan hendak ditinggali
Laki isteri bercinta gundah
memandang anakanda paras yang indah
Baginda menangis seraya bermadah
hendak dibawa bukannya mudah
dialaskan kain berpekanakan emas
diselimutkan dengan cawal kemas
memandang anakanda hatinya lemas
rasanya harap terlalu cemas
setelah hampirkan siang
hatinya belas terlalu sayang
diselimutkan kain intan di karang
manikam merah kemala diselang
ditaruhkan kendi di sisi anakanda
berbagai pakaian isinya ada
dinar dan intan emas bertatah
kendi-kendi kemala ditinggalkan Baginda
Dipeluk dicium seraya berkata
berhamburan dengan airnya mata
ayuhai emas putera juita
dipelihara oleh Tuhan semesta
lalu menangis puteri bangsawan
diletakan anakanda pilu dan rawan
kur semangat anakku tuan
semoga didapat orang bangsawan
Baginda menyapu airnya mata
memandang isterinya seraya berkata
ayuhai Adinda marilah kita
fajar menyingsing terangkan nyata
Segera berjalan laki isteri
hendak lekas ke luar negeri
tidak memandang kanan dan kiri
ke dalam hutan membawa diri
bersambung ke Dewi Bidasari di Pungut Laela Jauhari
Syair Bidasari (Hikayat Melayu) bag. 2
Dua bulan dura dan masa
lemahlah badan letih dan lesah
berbagai Baginda melihat termasa
sampailah kepada suatu desa
Sesat kampung seorang saudagar
jalannya sulit terlalu sukar
berhenti Baginda di luar pagar
heran tercengang duduk bersandar
Negeri mana gerangan ini
kampung siapa pula begini
hendak masuk tidak berani
baiklah kita duduk di sini
Raden Suwangsa Gering Pikir mikiran Dewi Rengganis ( Kisah Rengganis bag. 5)
KINANTI (u-i-a-i-a-i)
Suwangsa teu suwung suwung, mikiran Retna Rengganis, jadi manah salawasna, sarehing ditilar mulih, teu- beunang di ulah ulah, diandeng mondok sapeuting.
Narpatmaja unggah turun ka panggung ka taneuh deui sarta henteu petot tanggah , ningalan Dewi Rengganis, suganna katon ngolebat di awang-awang Rengganis. Cat deui bae ka panggung, Suwangsa kanduhan kingkin, tegesna geus kaleleban, sarta sering ngahariring, nangis bari sisindiran sumungkem kana guguling. Guguling nu di gugulung dianggo tilam kaeling, kawas katingal hilang ku nu mulang mentas maling.
Maling kembang tunjung tutur, katuturkeun ku pangliring, lila lila henteu terang, wekasan Suwangsa gering, gering maneh karungrungan, kuru aking ngajangjawing. Bawaning manahna kusut, teu kaop pisan kaseuit sewot lamun kasuat. Kesesekan ku kasakit juwet ku Retna Juwita, tacan wareg silih ciwit. Kitu nu matak nguluwut ka Rengganis enggeus muhit, kagendam cara nu ngundam dendem demem diri, wekasan jadi sangsara geseh ti adat sasari.
Semua kalangkung alum tina kaleleban galih. Kacatur teu gugah gugah ngaguligah hoyong panggih, sakapeung sok turun unggah Reungganis sugan kapanggih. Lewang manah jadi liwung, awang awang nu dilingling sok sering katuralengan, lelembutan geus ngelewing, tegesna raosing manah, geus aya di Argapuri.
Kayungyun nu nandang wuyung alumna ngahudang wingit, teu aya nu kacipta ngan Rengganis buah ati, lali ka saliring barang teu aya nu katolih. Di jero panggung mangungkung, keneng rimang emeng galih, asa ningal kembang-kembang, katembong urutna ngeumbing, kembang nu dina jambangan, matak wuwuh bingbang galih.
Di handapeun tunjung tutur, Rengganis urutna calik, calik emok teu disamak, hadena keusikna resik, Suwangsa mendak nalangsa, lalangse geus lingkup deui. Narpatmaja dina bangku, henteu petot ngahariring, kersa ngalilipur manah, malar paler ka nu mulih, sisindiran, basa jawa, supaya nambahan rasmi. Puter putih wismeng panggung, Rengganis bendara mami, gelepung pilih wadana, sesulung kang medal enjing, sataun mangsa lipura, yen durung slilironsih.
Kembang biru mungging kubur, anging ulah pegat asih, Renganis ka diri engkang, bantal dawa mungging keri, mustika ning pagulingan, ngan Eneng Retna Rengganis. Sing emut saur kapungkur, kang siti petak kabasmi, sanggup maneh kumawula, buron galak saba kali, Rengganis pupujan engkang, kapan baya sumping deui.
Gedong kambang mungging laut, kapalang temen Rengganis, sosobatan sareng engkang, bet wani ninggalkeun mulih, gunung kembar mungging dada, susunanku Nyi Rengganis. Aduh Nyai patrem sawung, Kang manira puji puji, ing wengi kalayan siang, ngan Eneng Retna Rengganis, kakayon rineka jalma, mangsa wurung anggoleki.
Aduh yayi sering kalbu, seja engkang nu sayakti, andeg andeg ing ukara, pada temen ulah licik, ulah cidra ti subaya, Rengganis kapan geus jangji. Naha henteu geura jebul, ngajabel puspitasari, sarina kudu kabawa, ka patapan Argapuri, kidang desa mungging kandang, dening kang aminda sasih. Rengganis ratuning ayu, kang etung sanga lan kalih, mugi sing agung kawelas, gegelang munggin dariji, mun Eneng dek carogean, ka engkang ulah lali. Ulah dek lali sawaktu, Rengganis ka diri kami, wedus bang kang saba wana, sun kukudang Nyi Rengganis, kalong cilik saba gedang, sumedot rasaning ati.
Kebo bang kagok ing susu, ku hayang sapisan deui, engkang jeun Eneng patempang, engkang ngantos ngantos jangji, majah maneh moal lila, kuring meureun balik deui. Enggeus dek langkung saminggu, henteu acan bae sumping, sugan masih keneh welas, ka nu boga tamansari, sabarilen saba toya, wong ayu ambibisani.
Umpama eneng geus tangtu, henteu kersa mulih deui, angka ka Banjaransekar, engkangna nu kantun nyeri, wader bang mawa curiga, kurang tamba lila gering. Daek daek pondok umur, mun teu dilayad ku Nyai, meureun burung jadi raja, ngaganti jeneng bupati, ngagentosan jeneng rama, engkang moal awet hurip.
Duh aduh Rengganis Enung, Nyai teh ngawaadung pari, estu Nyai nganiaya, Rengganis ka diri kami, naha henteu geura datang, ka Banjaransari deui. Engkah teh ngajukut laut, mun Nyai ayeuna sumping, meureun seger diri engkang, hate moal ngentab teuing, bulan keur surem sabeulah, moal samagaha pikir.
Henteu aya dua tilu, kajaba ti Nyai Rengganis, anu jadi pikir engkang, sahingga nemahan pati, engkang sumeja bumela, ngabujang di Argapuri. Gumantung dina jajantung, bulat beulit kana peujit, sumarambah kana bayah, jadi kulit jadi daging, geus nyayang dina sungsuam, gandesna Retna Rengganis.
Panjang lamun dipicatur, anu keru kanduhan kingkin, nu matak Kusumah Rara, disebut Retna Rengganis, tayohna kitu hartina, karengga dening mamanis.
Thursday, 4 June 2015
Dewi Rengganis (Nyimas Argapura) bag 4
Lajeung Nyimas Argapura, lambeyna
imut saeutik, Raden Arya Narpatmaja diimutan ku
Rengganis manahna langkung manis, raos kagunturan madu teu aya papadana,
yen diimutan nu geulis, Narpatmaja micara di jero manah, “Rasa kami saayeuna, lamun
ditingkalkeun balik, ku ieu Nyi Argapura geus tangtu kami teh gering, jeung
moal cageur deui, kadangkala pondok umur geus karasa ayeuna dibere imut
saeutik, pikir kami lumenyap kek
kapaehan.”
Unjukan Kusumah Rara sarta bari
melas melis, “Sim kuring kenging awisan asup ka Banjaransari panuhun jisim
kuring ngan hampura anu agung, sareng sim kuring moal purun nyaba nyaba deui
kana taman manawi teu jadi tuman. Amung timbangan gamparan, anu diajeng ku sim
kuring da jamak bubuhan menak, ngahampura sareng adil ka sadayana abdi, anu
kasiput ku luput, manawi di ahirna, menggah diri jisim kuring, werat males
kasaean ka gamparan. Amung sim kuring cacadna rea margina katampik lamun ngabdi
ka gamparan. Wantu kuring urang sisi sarta lain sasami, ngangken sobat ka nu
agung. Ngan manawi gamparan aya kalunturan galih kersa ngangken sobat dalit ka
pun bapa”.
Ku Suwangsa geus kamanah kabeh
pihatur Rengganis. Suwangsa geus samar rasa sarta teu pegat ningali. Narpatmaja
ngalahir, “Sukur sewu lamun enung aya niat ngawula ka nu nista papa miskin. Lamun
enya kumaha bae nya rasa. Palangsiang sambewara omongan Nyai ka kami. Lawbang panyandet
kuda, manawi eneng ngapusi.”
Matur Retna Rengganis, nyembah
sarta bari imut ngawalon ku basa jawa jengkel dituding ngapusi, “Lahir batin
Pangeran atur kaula.”
Ngalahir Raden Suwangsa, “Eh Nyai
Retna Rengganis, ayeuna urang barempang pasini masing ngajadi manjing sudara
wedi, tegesna asup kadulur, saha anu pantes raka, jeung saha nu pantes rai.”
Enggal matur sosocaning Argapura,
“Manawi sapuk jeung kersa, dupi panuhun sim kuring gamparan nu kapiraka. Sim kuring
nu kapirai.”
Kalangkung rena galih Raden Suwangsa
ngarungu pihatur rai anyar, “Daun cau nu geus garing, kaleresan Nyai kalangkung
peryoga. Eneng teh tos carogean?”
Ngawalon Ratna Rengganis, “Sim
kuring masih parawan, teu acan gaduh salaki.”
Narpatmaja ngalahir, “Da engkang
oge nya kitu, bujang tacan garwaan, lalaki taya kabeuki.”
Lajeung mesem Rengganis leleb kacida.
Sarta ngucap jero manah Kusumah Rara Rengganis, “komo teuin ieu jalma, bohongna
mun jadi istri.”
Narpatmaja ngalahir, Rengganis diwujuk wujuk , “Mirah dunungan
engkang, cik meuting bae sapetuing!”
Pok ngawalon Rengganis bari
ngeletan, “Lah, engkang kuring kumaha?lain ku teu hayang meuting ngan kuring
tacan haturan ka rama di Argapuri, manawi jajaga deui sakersa Engkang diturut,
sim kuring ayeuna mah ngan seja nyuhunkeun widi jeung pangdunga mugi salamet di
jalan. Dek mundur ka Argapura. Manawi widi sim kuring diantos antos ku rama.”
Raden Suwangsa pok deui, “Meuting
bae sapeuting, wandoning rama di gunung, montong jadi karempan da moal enya
tingali.” Bari maju Suwangsa dek newak tangan. Dewi Rengganis peryatna,
caringcing teu ngeunah cicing, barang dek ditewak ngejat, sarta ngomong, “Sanggeuk
teuing!” Barang dek ditewak deui, Nyi Rengganis ngapung. Raden Iman suwangsa
lajeng rubuh henteu eling, Narpatmaja kalengerna lila pisan.
Aya watara tilu
jam, kakara usik ngalilir, ngahuleng barina tanggah geregetan ku Rengganis,
angin Dewi Rengganis anu jadi buah kalbu. Raden teu kendat kendat ka awang
awang ningali lajeng bae lumebet ka papanggungan. Katingal bae gandangna
paningkah Retna Rengganis kelinga bae imutna, manis sarta kempot pipi. Suwangsa
dina katil kana bantal ebog nyuuh jeung nyusutan cisoca, kemutan ka semah
mulih. Narpatmaja manahan kanti kedanan.
Lajengkeun ka Raden Suwangsa sedih kingkin (Rengganis bag 5)
Tuesday, 2 June 2015
Kisah Siti Bidasari (Syair Bidasari), hikayat Melayu
Syair Bidasari
Oleh : Tuti Munawar (Ass Kurator Pernaskahan Museum Pusat Jakarta)
Dep P & K
Bismillah itu permulaan kalam
dengan nama Allah Khalikul Alam
melimpahkan rahmat siang dan malam
pada segala mukmin dan Islam
dengan nama Allah Khalikul Alam
melimpahkan rahmat siang dan malam
pada segala mukmin dan Islam
Si Pahit Lidah Alias Serunting Sakti Bag 2
Ke sini situ masyhurlah warta
Aur melingkar bagai melata
Batu yang besar kelihatan nyata
Jika ditapaki tempatnya itu
dengan tawakkal pada yang satu
Harimau putih datanglah tentu
begitu dikabarkan orang situ
Si macan putih disebut orang
hidup matinya tiada terang
suka berlaku hebat dan garang
kekal hidupnya sampai sekarang
Harimau itu konon kabarnya
darah si Pahit Lidah asalnya
dalam berkelahi luka badannya
sebab terbuka rahasia ilmunya
Darah mengalir lalu menjelma
jadi harimau binatang utama
harimau putih diberi nama
gagah berani bagai panglima
sampai di sini saya berhenti
untuk keterangannya sebagai bukti
sekarang cerita baik diganti
agar tercapai maksud di hati
MEMBUAT HUMA
Si Pahit Lidah jadi cerita
begini konon permulaan kata
Gunung Dompu indah jelita
sedap rupanya dipandang mata
Keliling gunung bukit berdiri
sebagai pagar kanan dan kiri
tampaknya hijau berseri seri
sedang dipandang sepanjang hari
Gunung di lingkar bukit barisan
rupanya tiada berkeputusan
Pagaralam tampak bagai lukisan
mata memandang tak bosan bosan
Pandang ke bukit padang menghalang
luas yujana ditumbuhi lalang
ditimpa sinar amat cemerlang
warna kuning mas gilang gemilang
Padangnya luas dilingkar hutan
hebat rupanya bukan buatan
Bukit Tajam nyata kellihatan
bagai tersembul dari daratan
di Pagaralam dekat disitu
jalan bersimpang banyak berbatu
adalah pula sungai suatu
Sungai Selangis namanya itu
Tidak jauh di sebelah kiri
sebuah kampung ada terdiri
Tangga Manik nama diberi
dikenali orang keliling negeri
Disana dulu menurut warta
adalah tempat seorang dewata
Rie Tabing namanya nyata
kuat dan kebal tubuh anggota
sebidang tanah tinggi letaknya
dilingkari aur sekelilingnya
situ Rie Tabing tempat tinggalnya
bersama sama dengan isterinya
Rie Tabing garang berani mati
gagah perkasa bukan seperti
bijak dan arip lagi pun sakti
mashur sebagai pahlawan sejati
Isteri Tabing seorang dara
Serunting Sakti punya saudara
dua beradik nyata ketar
tidak lain sanak saudara
Bersambung ke Rie Tabing Iri hati pada Serunting Sakti
Subscribe to:
Posts (Atom)